Abstract: This research aims to know the motive of Mr. Mario in his business. The data collection technique is in-depth interview and data analyzed is used interactive analysis model. The result of the research show that spirit of the native Moslem is high. His spirit is not only encouraged by economic motives, to fulfill only the economic necessary, but they encouraged by religious motive.
A. Riwayat berbisnis
Usaha kripik tempe merupakan “home industry” yang banyak digeluti oleh masyarakat Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri. Salah satunya adalah industri rumahan kripik tempe “Mawar” milik bapak Mario. Industri rumah tangga ini terletak di Desa Sanggrong, Kec. Ngadirojo, Kab. Wonogiri. Industri ini dirintis sejak tahun 1995 oleh bapak Mario dengan menggunakan modal pribadi sebesar Rp. 200.000. Awal mula merintis usaha ini bapak Mario tidak memiliki pegawai, beliau hanya dibantu oleh istrinya.
Sebelum merintis usaha kripik tempe ini, bapak Mario terlebih dahulu mempunyai usaha warung makan bakso di daerah Cilacap dan Bandung. Namun karena alasan keluarga, beliau memutuskan untuk pulang ke daerah asalnya di Wonogiri dan membuka usaha baru. Industri kripik tempe “Mawar” ini termasuk pelopor berdirinya industri-industri kripik tempe lainnya yang sekarang sangat banyak jumlahnya.
Pada awalnya, hasil kripik tempe ini hanya dipasarkan di sekitar rumahnya saja. Namun karena banyaknya permintaan konsumen, akhirnya pemasaran kripik tempe ini diperluas sampai kota Wonogiri. Bahkan saat ini banyak pesanan kripik tempe “Mawar” dari luar daerah Wonogiri, yaitu Jakarta, Surabaya, Solo, Semarang, dll.
Dalam menjalankan usahanya bapak Mario mengalami beberapa kendala, di antaranya adalah keterbatasan dana dalam pengembangan usaha dan keterbatasan kemampuan memasarkan. Menurut saya dua permasalahan ini sering dialami oleh pengusaha-pengusaha kecil, keterbatasan dana membuat usaha mereka sulit berkembang dan tidak mampu melayani permintaan pasar. Bahkan tidak sedikit pengusaha yang modalnya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan juga keterbatasan kemampuan memasarkan menyebabkan banyak produk industri kecil yang meskipun mutunya tinggi tetapi tidak dikenal dan tidak mampu menerobos pasar.
B. Motif berbisnis/ alasan berbisnis
Motif bapak Mario dalam berbisnis bukan hanya didorong oleh motif-motif ekonomi, yaitu supaya bisa memenuhi kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga didorong oleh motif religi. Menurut beliau proses mencari rezeki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib.
C. Cara menjalankan bisnisnya
Bapak Mario dalam menjalankan bisnisnya memiliki beberapa prinsip, yaitu: (1) Rezeki yang kita cari haruslah rezeki yang halal. (2) Bersikap jujur dalam menjalankan bisnis. (3) Dalam menjalankan bisnis tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan.
D. Cita-cita dalam menjalankan bisnis
Cita-cita bapak Mario dalam menjalankan bisnis di antaranya adalah (1) Untuk menafkahi keluarga. (2) Mampu memberi pendidikan yang layak bagi anak-anakanya. (3) Mampu menunaikan ibadah haji.
E. Analisis dengan studi keterkaitan agama dan bisnis
Dari penelitian terhadap usaha kripik tempe “Mawar” milik bapak Mario ini, dapat dilihat bahwasanya beliau dalam menjalankan bisnisnya banyak menggunakan sistem ekonomi Islam. Hal ini dapat dilihat dari motif, cara menjalankan, dan cita-cita beliau dalam berbisnis.
Jika kita menganalisa motif dan cara menjalankan bisnis dengan studi keterkaitan agama dan bisnis, maka akan kita dapatkan beberapa point, yaitu:
1. Motif bapak Mario dalam berbisnis adalah proses mencari rezeki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib. Hal ini jika kita kaitkan dengan agama Islam, maka Allah Swt. berfirman dalam surah at-Taubah ayat 105:
“dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
2. Prinsip bapak Mario yang pertama dalam menjalankan bisnis adalah rezeki yang kita cari haruslah rezeki yang halal. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah al-Baqarah ayat 275, yaitu:
• •
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
3. Prinsip yang kedua adalah bersikap jujur dalam menjalankan bisnis. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam surah Huud ayat 84-85, yaitu:
••
“dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).” dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
4. Prinsip yang terakhir adalah dalam menjalankan bisnis tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Islam mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia-menusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai dan selalu haus akan adanya penemuan-penemuan baru. Allah SWT berfirman dalam surah al-Insyirah ayat 7, yaitu:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
Selain itu jika kita menganalisa motif berbisnis bapak Mario yaitu masalah proses mencari rezeki bagi seseorang merupakan suatu tugas wajib, maka ada sedikit kemiripan dengan tesis Max Weber. Tesis Max Weber yang dipublikasikan dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” menjelaskan bahwa “Etika Protestan” dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme” rupanya suatu teori yang sangat menarik perhatian para ilmuwan sosial hingga sekarang. Menurut pengamatan Weber di kalangan Protestan sekte Calvinis, kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kerja keras ini merupakan panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup, sehingga mereka dapat hidup lebih baik secara ekonomi.
Dari hasil penelitian dan analisa di atas, maka faktor pendorong etos kerja bapak Mario dalam berbisnis dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Rabu, 22 Desember 2010
Selasa, 25 Mei 2010
KRISIS SPIRITUAL
I. Pendahuluan
Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern.
Adalah suatu kenyataan bahwa spiritualitas semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern dewasa ini. Fenomena keagamaan ini sangat menarik untuk dicermati, karena akhir-akhir ini terdapat pula kecenderungan “rekonsiliasi” antara nilai sufistik dengan dunia modern. Ada kecenderungan baru bahwa dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat Barat karena kemajuan yang telah mereka peroleh dalam bidang iptek membuktikan bahwa problema yang muncul kemudian akibat kemajuan dunia global tetap saja belum terpecahkan. Kegagalan manusia modern, ternyata oleh para pengamat hampir sepakat mengatakan bahwa krisis besar melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek sendiri dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka.
II. Pembahasan
A. Tasawuf sebagai Terapi Krisis Spiritual
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan tasawuf, meskipun demikian mereka sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu seorang sufi adalah mereka yang bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa) jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf adalah semangat (inti Islam). Sebab, ketentuan hukum Islam tanpa tasawuf (moral) adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.
Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin dalam hubungan antar hamba dengan Tuhan menegaskan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta, menindas, mengabdikan diri kepada selain khaliq, membiarkan orang yang lemah dan berkhianat.
Moral seseorang dengan dirinya melahirkan tindakan positif bagi diri, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak akan terjadi padanya. Selanjutnya moral yang terjalin pada hubungan antara seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian, dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis (spiritual, moral, dan budaya).
Moralitas yang diajarkan oleh tasawuf akan mengangkat manusia ke tingkat shafa al-Tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (al-Takhalluq bi Akhlaq Allah). Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan iradhah-Nya. Sebagai konsekuennya, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kemanfaatan, serta selaras dengan tuntutan Allah.
Lebih lanjut, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual. Sebab, pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama.
Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubngan seorang hamba dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan. Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang Sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia adalah Dzat yang paling patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, inti dari ajaran tobat.
Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu, hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia.
B. Nilai-nilai Spiritual
Munculnya tasawuf sebagai alternatif yang terpilih untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal, seperti al-Qur’an dan Hadits, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah dikembangkan para sufi sebelumnya.
Nilai-nilai atau keutamaan dalam sufisme sangat beragam, mereka menyebutnya dengan istilah maqamat atau stasiun-stasiun yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada Tuhan. Setiap stasiun memerlukan waktu yang panjang dan sangat tergantung pada kesungguhan masing-masing seseorang dan stasiun-stasiun itu sendiri sangat bervariasa di kalangan sufi. Mulai dari taubat, ridha, wara’, keikhlasan dalam beribadah (ikhlas), kerinduan (syauq) dan cinta pada Tuhan (mahabbah), mengenyampingkan dunia (zuhud), kepuasan hati (qana’ah), mengingat Allah (zikr), dan kesatuan mistik (ittihad).
C. Modernisme dan Kebutuhan Spiritual
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya. Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan Islam dan yang menjadi maqamat atau stasiun di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Namun, pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional. Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu mengamalkan sepenuhnya suluk dan zuhud seperti pengalaman yang melalui stasiun-stasiun mulai dari yang terendah sampai pada tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual yang telah disebutkan sebelumnya di tengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Di sini, pengertian kesufian tidak terlalu diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia modern. Sufi masa modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiah yang memancar dalam bentuk prilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makana hadits Rasulullah Saw., bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia. Kesan bahwa sufi yang harus menjauhkan diri dari masyarakat (‘uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh Muhammad Iqbal mungkin sulit dipahami oleh dunia modern dalam era globalisasi sekarang ini.
Bahwa untuk mengamalkan praktek kesufian dalam arti penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya adalah pemanfaatan IPTEK dan pendayagunaan sumber daya secara maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam prilaku keseharian kita, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu di abad modern ini. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab kita sebagai khalifah Tuhan yang harus berbuat baik kepada sesama manusia dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
III. Penutup
Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai spiritualitas sebaiknya tidak hanya dapat bertahan dari pengaruh negatif modernisasi, tetapi juga dapat mempengaruhi dan memberikan arah bagi terbentuknya tataran kehidupan masyarakat yang kreatif, dinamis, dan agamis. Oleh sebab itu, perlu upaya antara lain; pertama, mengembangkan sikap antisipatif sebagai implementasi dari prinsip “memelihara yanglama yang baik serta mengambil yang baru yang lebih baik”. Prinsip ini memberikan dorongan untuk tetap bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang positif yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik. Dalam kaitannya dengan modernisasi dan perkembangan teknologi yang dituntut adalah sikap kritis dan selektif.
Kedua, menumbuhkan sikap kreatif sesuai dengan prinsip iqamat al-maslahah (membangun kesejahteraan). Prinsip ini mendorong untuk aktif mencari alternatif dan menghasilkan produk-produk yang dapat membangun kesejahteraan umat. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya sekedar menggunakan produk-produk orang lain, melainkan harus dapat membuat produk sendiri yang pembuatannya tidak hanya berdasarkan iptek, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran Islam.
Ketiga, memadukan antara tasawuf ‘amali dan tasawuf falsafi agar terjadi keseimbangan (tawazun) antara nilai-nilai yang diamalkan dan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang bersifat amali secara sosiologis mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam membentuk jati diri, sedangkan nilai-nilai yang bersifat pemikiran akan memberikan motivasi dan kemantapan dalam pengamalan nilai tersebut serta memberikan jawaban terhadap tuntutan perkembangan era global.
Keempat, memadukan antara tauhid, fikih dan tasawuf sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan agar
Daftar Pustaka
Al-Hajjar, Muhammad. Al-Hubb al-Khalid (Negeri Para Pencinta: Konsep Cinta Abadi dalam Tasawuf), terj. Muhammad Absul Qadir al-Kaf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Al-Munawar, Said Agil. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Syukur, Amin dan Muhayya, Abdul. Tasawuf dan Krisis. Semarang: IAIN Wali Songo Press, 2001.
I. Pendahuluan
Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern.
Adalah suatu kenyataan bahwa spiritualitas semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern dewasa ini. Fenomena keagamaan ini sangat menarik untuk dicermati, karena akhir-akhir ini terdapat pula kecenderungan “rekonsiliasi” antara nilai sufistik dengan dunia modern. Ada kecenderungan baru bahwa dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat Barat karena kemajuan yang telah mereka peroleh dalam bidang iptek membuktikan bahwa problema yang muncul kemudian akibat kemajuan dunia global tetap saja belum terpecahkan. Kegagalan manusia modern, ternyata oleh para pengamat hampir sepakat mengatakan bahwa krisis besar melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek sendiri dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka.
II. Pembahasan
A. Tasawuf sebagai Terapi Krisis Spiritual
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan tasawuf, meskipun demikian mereka sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu seorang sufi adalah mereka yang bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa) jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf adalah semangat (inti Islam). Sebab, ketentuan hukum Islam tanpa tasawuf (moral) adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.
Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin dalam hubungan antar hamba dengan Tuhan menegaskan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta, menindas, mengabdikan diri kepada selain khaliq, membiarkan orang yang lemah dan berkhianat.
Moral seseorang dengan dirinya melahirkan tindakan positif bagi diri, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak akan terjadi padanya. Selanjutnya moral yang terjalin pada hubungan antara seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian, dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis (spiritual, moral, dan budaya).
Moralitas yang diajarkan oleh tasawuf akan mengangkat manusia ke tingkat shafa al-Tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (al-Takhalluq bi Akhlaq Allah). Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan iradhah-Nya. Sebagai konsekuennya, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kemanfaatan, serta selaras dengan tuntutan Allah.
Lebih lanjut, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual. Sebab, pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama.
Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubngan seorang hamba dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan. Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang Sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia adalah Dzat yang paling patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, inti dari ajaran tobat.
Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu, hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia.
B. Nilai-nilai Spiritual
Munculnya tasawuf sebagai alternatif yang terpilih untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal, seperti al-Qur’an dan Hadits, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah dikembangkan para sufi sebelumnya.
Nilai-nilai atau keutamaan dalam sufisme sangat beragam, mereka menyebutnya dengan istilah maqamat atau stasiun-stasiun yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada Tuhan. Setiap stasiun memerlukan waktu yang panjang dan sangat tergantung pada kesungguhan masing-masing seseorang dan stasiun-stasiun itu sendiri sangat bervariasa di kalangan sufi. Mulai dari taubat, ridha, wara’, keikhlasan dalam beribadah (ikhlas), kerinduan (syauq) dan cinta pada Tuhan (mahabbah), mengenyampingkan dunia (zuhud), kepuasan hati (qana’ah), mengingat Allah (zikr), dan kesatuan mistik (ittihad).
C. Modernisme dan Kebutuhan Spiritual
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya. Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan Islam dan yang menjadi maqamat atau stasiun di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Namun, pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional. Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu mengamalkan sepenuhnya suluk dan zuhud seperti pengalaman yang melalui stasiun-stasiun mulai dari yang terendah sampai pada tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual yang telah disebutkan sebelumnya di tengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Di sini, pengertian kesufian tidak terlalu diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia modern. Sufi masa modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiah yang memancar dalam bentuk prilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makana hadits Rasulullah Saw., bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia. Kesan bahwa sufi yang harus menjauhkan diri dari masyarakat (‘uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh Muhammad Iqbal mungkin sulit dipahami oleh dunia modern dalam era globalisasi sekarang ini.
Bahwa untuk mengamalkan praktek kesufian dalam arti penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya adalah pemanfaatan IPTEK dan pendayagunaan sumber daya secara maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam prilaku keseharian kita, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu di abad modern ini. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab kita sebagai khalifah Tuhan yang harus berbuat baik kepada sesama manusia dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
III. Penutup
Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai spiritualitas sebaiknya tidak hanya dapat bertahan dari pengaruh negatif modernisasi, tetapi juga dapat mempengaruhi dan memberikan arah bagi terbentuknya tataran kehidupan masyarakat yang kreatif, dinamis, dan agamis. Oleh sebab itu, perlu upaya antara lain; pertama, mengembangkan sikap antisipatif sebagai implementasi dari prinsip “memelihara yanglama yang baik serta mengambil yang baru yang lebih baik”. Prinsip ini memberikan dorongan untuk tetap bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang positif yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik. Dalam kaitannya dengan modernisasi dan perkembangan teknologi yang dituntut adalah sikap kritis dan selektif.
Kedua, menumbuhkan sikap kreatif sesuai dengan prinsip iqamat al-maslahah (membangun kesejahteraan). Prinsip ini mendorong untuk aktif mencari alternatif dan menghasilkan produk-produk yang dapat membangun kesejahteraan umat. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya sekedar menggunakan produk-produk orang lain, melainkan harus dapat membuat produk sendiri yang pembuatannya tidak hanya berdasarkan iptek, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran Islam.
Ketiga, memadukan antara tasawuf ‘amali dan tasawuf falsafi agar terjadi keseimbangan (tawazun) antara nilai-nilai yang diamalkan dan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang bersifat amali secara sosiologis mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam membentuk jati diri, sedangkan nilai-nilai yang bersifat pemikiran akan memberikan motivasi dan kemantapan dalam pengamalan nilai tersebut serta memberikan jawaban terhadap tuntutan perkembangan era global.
Keempat, memadukan antara tauhid, fikih dan tasawuf sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan agar
Daftar Pustaka
Al-Hajjar, Muhammad. Al-Hubb al-Khalid (Negeri Para Pencinta: Konsep Cinta Abadi dalam Tasawuf), terj. Muhammad Absul Qadir al-Kaf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Al-Munawar, Said Agil. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Syukur, Amin dan Muhayya, Abdul. Tasawuf dan Krisis. Semarang: IAIN Wali Songo Press, 2001.
Senin, 24 Mei 2010
Mengenal Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah
Diposting oleh EL-FATH_NAE di 18.26
I. Pendahuluan
Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam, selain al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.
II. Pembahasan
A. Kitab al-Hadits al-Mutawatirah
1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-mutawatirah lebih mendalam, terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-mutawatirah.
Menurut bahasa, mutawatir merupakan isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut, beriring-iring).
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka lupa secara serentak.
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai mutawatir.
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.
2. Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir
Para Ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab;
b. Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu; dan
c. Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu كتاب الازهار المتناثرة في الاخبار المتواترة
3. Biografi pengarang
Nama lengkap Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman Bin Abu Bakar Muhammad al-Khudri as-Suyuthi as-Syafi’i. Beliau hafal 200.000 hadits. Beliau mengatakan “kalau seandainya saya mendapati lebih dari 200.000, niscaya saya akan menghafalnya.” Beliau lahir setelah maghrib pada malam Ahad di awal Rajab 849 H. Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40 tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul. Dan beliau wafat pada malam jum’at, tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.
4. Metode dan Sistematika penulisan hadits
As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap hadits.
5. Standar yang digunakan
As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.
6. Isi kitab
Kitab hadits al-Azhar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan yang lainnya.
7. Cara menggunakannya
Dilihat dari sistematika penulisan kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab tersebut.
B. Kitab al-Hadits al-Qudsiyah
1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-qudsiyah lebih mendalam, alangkah baiknya terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-qudsiyah.
Menurut bahasa, qudsi artinya yang disandarkan kepada kesucian.
Menurut istilah, hadits qudsi artinya hadits yang dalam matannya ada perkataan yang disandarkan kepada Allah swt.
Dalam ilmu hadits, hadits qudsi adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw dan disandarkannya kepada Allah swt.
Menurut Maulana Ali al-Qari Hadits al-Qudsiyah adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sumber para rawi (rasul) dan sumber kepercayaan dari Allah swt. Sekali waktu dengan perantara Jibril ra dan sekali waktu dengan wahyu atau ilham atau tidur. Ungkapan (susunan kalimatnya) diserahkan kepada kemauan beliau dengan susunan yang bagaimanapun macamnya.
2. Kitab-kitab yang membahas hadits qudsiyah
Para ulama telah mengumpulkan hadits-hadits qudsiyah dalam satu kitab. Diantara kitab-kitab yang membahas tentang al-Hadits al-Qudsiyah adalah:
a. Al-Ittifahatu as-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyah, karya Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni; dan
b. Kitab Al-Hadits al-Qudsiyah. Yang disusun bab per bab.
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu الاتحافات السنية في الاحاديث القدسية
3. Biografi pengarang
Nama lengkap Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni atau yang lebih dikenal dengan al-Madani. Beliau adalah seorang ulama abad ke-12 H dan juga seorang yang faqih dalam ilmu-ilmu syair. Beliau telah menghasilkan karya-karya tulis yang begitu banyak. Beliau meninggal pada tahun1200 H.
4. Metode dan Sistematika penulisan hadits:
a. Menyebutkan orang yang meriwayatkan hadits (mukhorij hadits tersebut);
b. Menyebutkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits;
c. Menyebutkan hadits-haditsnya secara lengkap baik semuanya hadits qudsi ataupun hanya sebagiannya saja dan bahkan bukan dari hadits qudsi itu sendiri;
d. Terkadang menyebutkan kwalitas haditsnya, apakah hadits itu shahih atau dhoif;
e. Hadits yang dimulai dengan lafadz قال diurutkan berdasarkan فاعل yang mana fail tersebut menggunakan lafadz الله ;
f. Hadits-hadits yang dimulai dengan lafadz يقول maka failnya adalah الله walaupun ditulis dengan jelas lafadz الله tersebut atau tidak.
Contoh : يقول الله atau يقول الرب atau dengan lafadz يقول عزّ وجلّ ; dan
g. Apabila hadits-hadits itu tidak dimulai dengan kedua lafadz diatas ( قال atau يقول ), maka hadits-haditsnya diurutkan berdasarkan huruf hijaiyah yang pertama dan kedua. Contoh : hadits itu dimulai dari hamzah dengan alif, kemudian hamzah dengan ba’ dan seterusnya.
5. Isi kitab
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah ini berisi tentang kumpulan hadits-hadits qudsiyah yang di dalamnya memuat berbagai macam permasalahan agama Islam, diantaranya : keutamaan dzikir dan kalimat tauhid, membenarkan aqidah, kemurahan Allah swt, persediaan Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya, panggilan Allah swt kepada hamba-Nya untuk berdoa dan berharap kepadaNya, infaq dan keutamaannya, puasa dan keutamaannya, sifat Nabi saw dalam taurat, balasan bunuh diri, ikhlas dalam beramal, penciptaan alam dan lain-lain.
Sumber-sumber pengambilan hadits-hadits qudsi tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadits sebagai berikut :
a. Kitab Muwatha’ karya Imam Malik;
b. Kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhori;
c. Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim;
d. Kitab Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud;
e. Kitab Jami’ at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi;
f. Kitab Sunan an-Nasa’I karya Imam Nasa’I; dan
g. Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah.
6. Cara menggunakannya
Dilihat dari metode dan sistematika penulisan kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-qudsiyah ini adalah pertama-tama kita harus melihat lafadz depan hadits tersebut, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan lafadz tersebut. Karena kitab ini tersusun berdasarkan lafadz depan hadits.
III. Penutup
Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu dan Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Dan diantara kitab-kitab hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits mutawatir ataupun hadits qudsi.
IV. Sumber Acuan
Abdul Hadi, Abu Muhammad, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah saw, Kairo: Darul I’tishom, t.th.
Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
Baidhowi, M. Ali, Al-Ahadits al-Qudsiyah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.
Ismail, DR. M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘ITR, Dr. Nuruddin, Ulum al-Hadits 2, Bandung: PT. remaja Rosdakarya, 1997.
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Hafizh, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, Bandung: Pustaka, 1986.
Zuhri, Muhammad, Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: CV. Toha Putra, 1982.
Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam, selain al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.
II. Pembahasan
A. Kitab al-Hadits al-Mutawatirah
1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-mutawatirah lebih mendalam, terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-mutawatirah.
Menurut bahasa, mutawatir merupakan isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut, beriring-iring).
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka lupa secara serentak.
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai mutawatir.
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.
2. Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir
Para Ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab;
b. Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu; dan
c. Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu كتاب الازهار المتناثرة في الاخبار المتواترة
3. Biografi pengarang
Nama lengkap Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman Bin Abu Bakar Muhammad al-Khudri as-Suyuthi as-Syafi’i. Beliau hafal 200.000 hadits. Beliau mengatakan “kalau seandainya saya mendapati lebih dari 200.000, niscaya saya akan menghafalnya.” Beliau lahir setelah maghrib pada malam Ahad di awal Rajab 849 H. Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40 tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul. Dan beliau wafat pada malam jum’at, tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.
4. Metode dan Sistematika penulisan hadits
As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap hadits.
5. Standar yang digunakan
As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.
6. Isi kitab
Kitab hadits al-Azhar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan yang lainnya.
7. Cara menggunakannya
Dilihat dari sistematika penulisan kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab tersebut.
B. Kitab al-Hadits al-Qudsiyah
1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-qudsiyah lebih mendalam, alangkah baiknya terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-qudsiyah.
Menurut bahasa, qudsi artinya yang disandarkan kepada kesucian.
Menurut istilah, hadits qudsi artinya hadits yang dalam matannya ada perkataan yang disandarkan kepada Allah swt.
Dalam ilmu hadits, hadits qudsi adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw dan disandarkannya kepada Allah swt.
Menurut Maulana Ali al-Qari Hadits al-Qudsiyah adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sumber para rawi (rasul) dan sumber kepercayaan dari Allah swt. Sekali waktu dengan perantara Jibril ra dan sekali waktu dengan wahyu atau ilham atau tidur. Ungkapan (susunan kalimatnya) diserahkan kepada kemauan beliau dengan susunan yang bagaimanapun macamnya.
2. Kitab-kitab yang membahas hadits qudsiyah
Para ulama telah mengumpulkan hadits-hadits qudsiyah dalam satu kitab. Diantara kitab-kitab yang membahas tentang al-Hadits al-Qudsiyah adalah:
a. Al-Ittifahatu as-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyah, karya Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni; dan
b. Kitab Al-Hadits al-Qudsiyah. Yang disusun bab per bab.
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu الاتحافات السنية في الاحاديث القدسية
3. Biografi pengarang
Nama lengkap Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni atau yang lebih dikenal dengan al-Madani. Beliau adalah seorang ulama abad ke-12 H dan juga seorang yang faqih dalam ilmu-ilmu syair. Beliau telah menghasilkan karya-karya tulis yang begitu banyak. Beliau meninggal pada tahun1200 H.
4. Metode dan Sistematika penulisan hadits:
a. Menyebutkan orang yang meriwayatkan hadits (mukhorij hadits tersebut);
b. Menyebutkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits;
c. Menyebutkan hadits-haditsnya secara lengkap baik semuanya hadits qudsi ataupun hanya sebagiannya saja dan bahkan bukan dari hadits qudsi itu sendiri;
d. Terkadang menyebutkan kwalitas haditsnya, apakah hadits itu shahih atau dhoif;
e. Hadits yang dimulai dengan lafadz قال diurutkan berdasarkan فاعل yang mana fail tersebut menggunakan lafadz الله ;
f. Hadits-hadits yang dimulai dengan lafadz يقول maka failnya adalah الله walaupun ditulis dengan jelas lafadz الله tersebut atau tidak.
Contoh : يقول الله atau يقول الرب atau dengan lafadz يقول عزّ وجلّ ; dan
g. Apabila hadits-hadits itu tidak dimulai dengan kedua lafadz diatas ( قال atau يقول ), maka hadits-haditsnya diurutkan berdasarkan huruf hijaiyah yang pertama dan kedua. Contoh : hadits itu dimulai dari hamzah dengan alif, kemudian hamzah dengan ba’ dan seterusnya.
5. Isi kitab
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah ini berisi tentang kumpulan hadits-hadits qudsiyah yang di dalamnya memuat berbagai macam permasalahan agama Islam, diantaranya : keutamaan dzikir dan kalimat tauhid, membenarkan aqidah, kemurahan Allah swt, persediaan Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya, panggilan Allah swt kepada hamba-Nya untuk berdoa dan berharap kepadaNya, infaq dan keutamaannya, puasa dan keutamaannya, sifat Nabi saw dalam taurat, balasan bunuh diri, ikhlas dalam beramal, penciptaan alam dan lain-lain.
Sumber-sumber pengambilan hadits-hadits qudsi tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadits sebagai berikut :
a. Kitab Muwatha’ karya Imam Malik;
b. Kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhori;
c. Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim;
d. Kitab Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud;
e. Kitab Jami’ at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi;
f. Kitab Sunan an-Nasa’I karya Imam Nasa’I; dan
g. Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah.
6. Cara menggunakannya
Dilihat dari metode dan sistematika penulisan kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-qudsiyah ini adalah pertama-tama kita harus melihat lafadz depan hadits tersebut, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan lafadz tersebut. Karena kitab ini tersusun berdasarkan lafadz depan hadits.
III. Penutup
Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu dan Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Dan diantara kitab-kitab hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits mutawatir ataupun hadits qudsi.
IV. Sumber Acuan
Abdul Hadi, Abu Muhammad, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah saw, Kairo: Darul I’tishom, t.th.
Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
Baidhowi, M. Ali, Al-Ahadits al-Qudsiyah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.
Ismail, DR. M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘ITR, Dr. Nuruddin, Ulum al-Hadits 2, Bandung: PT. remaja Rosdakarya, 1997.
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Hafizh, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, Bandung: Pustaka, 1986.
Zuhri, Muhammad, Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: CV. Toha Putra, 1982.
I. Pendahuluan
Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia dan proses penyebaran awal di tengah-tengah masyarakat Indonesia memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Artinya, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di kalangan umat Islam di Indonesia menyangkut kapan waktu pertama kali Islam hadir di Indonesia.
Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), dan menghilangkan perbudakan.
II. Pembahasan
A. Teori awal mula Islam masuk ke Indonnesia
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. terdapat tiga teori besar masuknya Islam ke Indonesia, yaitu:
1. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
2. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
3. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Dari keterangan dan bukti sejarah yang ada, teori yang paling banyak disetujui para sejahrawan adalah teori Makkah. Yaitu awal masuknya Islam ke Indonesia adalah pada permulaan abad ke-7, tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin, karena pada zaman Rasulullah sendiri telah banyak sahabat-sahabat yang diutus untuk menyebarkan Islam ke negeri-negeri seberang dan tidak menutup kemungkinan para sahabat berkelana sampai ke negeri timur Indonesia.
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat Muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim, mengambil proses waktu berabad-abad. Demikian pula proses tersebut melalui bermacam-macam cara, yaitu:
1. Perdagangan
2. Sosial Kultural
3. Politik
4. Perkawinan
5. Pendidikan
B. Sebelum Kemerdekaan
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
1. Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.
Di kerajaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
2. Pada Masa Penjajahan
Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
a. Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
b. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonje alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Setelah kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan.
3. Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
C. Sesudah Kemerdekaan
Ada dua tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sesudah kemerdekaan, yakni :
1. Pra Kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi, seperti :
a. Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
b. Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
c. Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
d. Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
a. Jamiat Khair (1905)
b. Persyarikatan Ulama ( 1911)
c. Persatuan Islam (1920)
d. Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, (Majelis Syura Muslimin Indonesia) menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, (Partai Allah atau Angkatan Allah) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Pasca Kemerdekaan
Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara islam Indonesia.
Gerakan kekerasan yang bernada islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :
a. Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962
b. Di Jawa Tengah, pada tahun 1965
c. Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965
d. Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963
e. Dan di Aceh, pada tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957
D. Perwujudan Akulturasi Islam dengan Indonesia
Taufiq Abdullah menyatakan bahwa terdapat tiga konsep tentang masuknya agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang, yang dinyatakan dengan adanya bekas peninggalan Islam di kawasan yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan dengan adanya masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya Islam ke Indonesia sangat mempengaruhi kebudayaan Indonesia, bahkan terjadi perpaduan antara budaya Indonesia dan budaya Islam. Diantaranya ialah:
1. Seni Bangunan
Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam pada seni bangunan dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
a. Masjid
1) Atap (bagian yang melingkupi ruang bujur sangkar)
Atap bukan berupa kubah, melainkan berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Tingkatan paling atas membentuk limas. Jumlah tumpang selalu ganjil, biasanya 3, tapi ada juga yang lima seperti pada masjid Banten.
2) Menara Mesjid Kudus merupakan sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya serta diberi atap tumpang. Sedang menara Masjid Banten adalah tambahan yang diusahakan oleh seorang pelarian Belanda bernama Cardeel.
3) Letak Masjid pada umumnya didirikan berdekatan dengan istana. Kalau di sebelah utara dan selatan istana biasanya terdapat sebuah lapangan, yang di Jawa disebut alun-alun, maka masjid didirikan di tepi barat alun-alun.
b. Makam
Kuburan atau makam biasanya diabadikan atau diperkuat dengan bangunan dari batu yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat ini sering juga didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah.
Makam tertua di Indonesia adalah makam Fatimah binti Maimun yang lebih terkenal dengan nama putri Suwari dileran (tahun 1082 M), dan makamnya justru diberi cungkup. Makam ini mirip candi. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke-11 M masyarakat masih terikat pada bentuk candi.
2. Aksara dan Seni Rupa
Huruf-huruf Arab yang ditulis dengan sangat indah disebut dengan seni kaligrafi (seni Kath dan Kholt). Seni kaligrafi ini turut serta mewarnai perkembangan seni rupa Islam di Indonesia. Kalimat-kalimat yang ditulis bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist.
3. Sistem Pemerintahan
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan pertama yang menganut sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Perkembangan ini semakin bertambah pesat setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak dengan raja pertamanya Raden Patah.
Sejak berdirinya Kerajaan Demak, perkembangan Islam semakin bertambah pesat, seperti Gresik, Tuban, Jepara, Pasuruan, Surabaya, Banten, Cirebon, Jayakarta, Banjarmasin, Makassar, Tidore dan Ternate.
4. Pendidikan
Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididikan paling tua di Indonesia. Selain itu, dalam pendidikan Islam di Indonesia juga dikenal adanya Madrasah Ibtidaiyah (dasar), Madrasah Tsanawiyah (lanjutan), dan Madrasah Aliyah (menengah).
III. Penutup
Memang banyak hasil kajian teori tentang masuknya Islam dan penyebarannya ke Indonesia, akan tetapi semua itu hanya dapat dibuktikan dengan sejarah. Walaupun tidak dipungkiri bahwa penyebaran tersebut meski akhirnya melemah ketika kedatangan penjajah Belanda. Namun kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya adalah mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan benar. Sejarah itu pula yang menjadikan kita saat ini menjadi sebuah negara Muslim terbesar di dunia. Dan tidak dipungkiri lagi bahwa Islam sangat banyak mempengaruhi budaya Indonesia, mulai dari bangunan, tulisan, bahasa, dan sistem pemerintahan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat. Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
______________. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1979.
Abidin, Ahmad Zainal. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang, 1979.
Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera, 2007.
Amrullah, H. Abdul Malik Karim. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan Al-Aidrus, Muhammad. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1997.
Pijper. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Rais, Amin. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Lentera, 1999.
Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Umat Islam Di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia dan proses penyebaran awal di tengah-tengah masyarakat Indonesia memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Artinya, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di kalangan umat Islam di Indonesia menyangkut kapan waktu pertama kali Islam hadir di Indonesia.
Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), dan menghilangkan perbudakan.
II. Pembahasan
A. Teori awal mula Islam masuk ke Indonnesia
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. terdapat tiga teori besar masuknya Islam ke Indonesia, yaitu:
1. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
2. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
3. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Dari keterangan dan bukti sejarah yang ada, teori yang paling banyak disetujui para sejahrawan adalah teori Makkah. Yaitu awal masuknya Islam ke Indonesia adalah pada permulaan abad ke-7, tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin, karena pada zaman Rasulullah sendiri telah banyak sahabat-sahabat yang diutus untuk menyebarkan Islam ke negeri-negeri seberang dan tidak menutup kemungkinan para sahabat berkelana sampai ke negeri timur Indonesia.
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat Muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim, mengambil proses waktu berabad-abad. Demikian pula proses tersebut melalui bermacam-macam cara, yaitu:
1. Perdagangan
2. Sosial Kultural
3. Politik
4. Perkawinan
5. Pendidikan
B. Sebelum Kemerdekaan
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
1. Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.
Di kerajaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
2. Pada Masa Penjajahan
Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
a. Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
b. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonje alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Setelah kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan.
3. Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
C. Sesudah Kemerdekaan
Ada dua tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sesudah kemerdekaan, yakni :
1. Pra Kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi, seperti :
a. Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
b. Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
c. Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
d. Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
a. Jamiat Khair (1905)
b. Persyarikatan Ulama ( 1911)
c. Persatuan Islam (1920)
d. Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, (Majelis Syura Muslimin Indonesia) menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, (Partai Allah atau Angkatan Allah) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Pasca Kemerdekaan
Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara islam Indonesia.
Gerakan kekerasan yang bernada islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :
a. Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962
b. Di Jawa Tengah, pada tahun 1965
c. Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965
d. Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963
e. Dan di Aceh, pada tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957
D. Perwujudan Akulturasi Islam dengan Indonesia
Taufiq Abdullah menyatakan bahwa terdapat tiga konsep tentang masuknya agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang, yang dinyatakan dengan adanya bekas peninggalan Islam di kawasan yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan dengan adanya masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya Islam ke Indonesia sangat mempengaruhi kebudayaan Indonesia, bahkan terjadi perpaduan antara budaya Indonesia dan budaya Islam. Diantaranya ialah:
1. Seni Bangunan
Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam pada seni bangunan dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
a. Masjid
1) Atap (bagian yang melingkupi ruang bujur sangkar)
Atap bukan berupa kubah, melainkan berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Tingkatan paling atas membentuk limas. Jumlah tumpang selalu ganjil, biasanya 3, tapi ada juga yang lima seperti pada masjid Banten.
2) Menara Mesjid Kudus merupakan sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya serta diberi atap tumpang. Sedang menara Masjid Banten adalah tambahan yang diusahakan oleh seorang pelarian Belanda bernama Cardeel.
3) Letak Masjid pada umumnya didirikan berdekatan dengan istana. Kalau di sebelah utara dan selatan istana biasanya terdapat sebuah lapangan, yang di Jawa disebut alun-alun, maka masjid didirikan di tepi barat alun-alun.
b. Makam
Kuburan atau makam biasanya diabadikan atau diperkuat dengan bangunan dari batu yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat ini sering juga didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah.
Makam tertua di Indonesia adalah makam Fatimah binti Maimun yang lebih terkenal dengan nama putri Suwari dileran (tahun 1082 M), dan makamnya justru diberi cungkup. Makam ini mirip candi. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke-11 M masyarakat masih terikat pada bentuk candi.
2. Aksara dan Seni Rupa
Huruf-huruf Arab yang ditulis dengan sangat indah disebut dengan seni kaligrafi (seni Kath dan Kholt). Seni kaligrafi ini turut serta mewarnai perkembangan seni rupa Islam di Indonesia. Kalimat-kalimat yang ditulis bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist.
3. Sistem Pemerintahan
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan pertama yang menganut sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Perkembangan ini semakin bertambah pesat setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak dengan raja pertamanya Raden Patah.
Sejak berdirinya Kerajaan Demak, perkembangan Islam semakin bertambah pesat, seperti Gresik, Tuban, Jepara, Pasuruan, Surabaya, Banten, Cirebon, Jayakarta, Banjarmasin, Makassar, Tidore dan Ternate.
4. Pendidikan
Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididikan paling tua di Indonesia. Selain itu, dalam pendidikan Islam di Indonesia juga dikenal adanya Madrasah Ibtidaiyah (dasar), Madrasah Tsanawiyah (lanjutan), dan Madrasah Aliyah (menengah).
III. Penutup
Memang banyak hasil kajian teori tentang masuknya Islam dan penyebarannya ke Indonesia, akan tetapi semua itu hanya dapat dibuktikan dengan sejarah. Walaupun tidak dipungkiri bahwa penyebaran tersebut meski akhirnya melemah ketika kedatangan penjajah Belanda. Namun kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya adalah mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan benar. Sejarah itu pula yang menjadikan kita saat ini menjadi sebuah negara Muslim terbesar di dunia. Dan tidak dipungkiri lagi bahwa Islam sangat banyak mempengaruhi budaya Indonesia, mulai dari bangunan, tulisan, bahasa, dan sistem pemerintahan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat. Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
______________. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1979.
Abidin, Ahmad Zainal. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang, 1979.
Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera, 2007.
Amrullah, H. Abdul Malik Karim. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan Al-Aidrus, Muhammad. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1997.
Pijper. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Rais, Amin. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Lentera, 1999.
Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Umat Islam Di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
I. PENDAHULUAN
Mesopotamia terletak di antara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris. Daerah yang kini menjadi Republik Irak itu di zaman dahulu disebut Mesopotamia, yang dalam bahasa Yunani berarti "(daerah) di antara sungai-sungai". Entah sejak kapan nama itu dipakai untuk menyebut daerah itu. Namun, para penulis Yunani dan Latin kuno, seperti Polybius (abad 2 SM) dan Strabo (60 SM-20 M), sudah menggunakannya.
Sejarah Mesopotamia diawali dengan tumbuhnya sebuah peradaban, yang diyakini sebagai pusat peradaban tertua di dunia, oleh bangsa Sumeria. Bangsa Sumeria membangun beberapa kota kuno yang terkenal, yaitu Ur, Ereck, Kish, dll. Kehadiran seorang tokoh imperialistik dari bangsa lain yg juga mendiami kawasan Mesopotamia, bangsa Akkadia, dipimpin Sargon Agung, ternyata melakukan sebuah penaklukan politis, tapi bukan penaklukan kultural. Bahkan dalam berbagai hal budaya Sumer dan Akkad berakulturasi, sehingga era kepemimpinan ini sering disebut Jilid Sumer-Akkad. Campur tangan Sumer tidak dapat diremehkan begitu saja, pada saat Akkad terdesak oleh bangsa Gutti, bangsa Sumer-lah yg mendukung Akkad, sehingga mereka masih dapat berkuasa di "tanah antara dua sungai" itu.
II. PEMBAHASAN
A. Letak Geografis dan Kondisi Alam Mesopotamia
Mesopotamia adalah suatu wilayah perlembahan yang terletak di antara dua sungai Tigris dan Eufrat. Hulu kedua sungai tersebut berasal dari dataran tinggi yang bergunung-gunung di Asia Kecil yang mengalir ke arah tenggara secara pararel menyisir hamparan terbuka. Hanya kurang dari dua ratus mil, kedua sungai itu saling mendekat. Daerah yang dilalui kedua sungai itu pada umumnya subur. Sebab daerah itu merupakan daerah yang berupa tanah hasil endapan air yang dihasilkan dari sungai Tigris dan Eufrat.
B. Bangsa-bangsa pendukung Peradaban Mesopotamia
1. Bangsa Ubaid
Merupakan bangsa pertama yang telah tinggal di Mesopotamia selama bertahun-tahun. Bangsa ini bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam biji-bijian dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana irigasi pertanian ini dilakukan di daerah yang subur.
2. Bangsa Sumeria (± 3000 SM)
Merupakan bangsa yang ada setelah bangsa Ubaid telah punah. Bangsa ini bermata pencaharian sebagai petani yaitu dengan cara melanjutkan pertanian yang dilakukan oleh bangsa Ubaid. Namun berbeda dengan para pendahulunya bangsa Sumeria memperbaharui sistem irigasi dengan membuat waduk-waduk agar ketika musim kemarau mereka tetap akan bisa melakukan pengairan ke ladang-ladang mereka. Bangsa Sumeria adalah bangsa yang pertama mendiami Mesopotamia. Mula-mula daerah tersebut berupa rawa-rawa. Setelah dikeringkan daerah tersebut menjadi pemukiman yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang teratur. Kota yang dihuni tertua adalah Ur dan kemudian Sumer.
3. Bangsa Akkadia (± 2350 SM)
Memasuki tahun 2800 SM, Mesopotamia dikuasai oleh bangsa Akkadia, setelah berhasil mengalahkan bangsa Sumeria. Pemimpin bangsa Akkadia adalah raja Sargon. Memilih Agade sebagai ibukotanya. Dari segi kebudayaan bangsa Akkadia meniru kebudayaan bangsa Sumeria yang sudah maju sehingga berkembanglah budaya baru yang disebut budaya Sumer Akkad berbahasa semit.
4. Bangsa Babilonia (±1900 SM)
Kerajaan Babilonia didirikan oleh bangsa Amorit yang disebut juga Babilonia. Kata Babilonia berasal dari kata babilu yang berarti gerbang menuju Tuhan. Babilon terletak ± 97 kilometer di selatan kota Baghdad sekarang, di tepi sungai Eufrat, Irak selatan. Babilon menjadi pemerintahan (ibukota), perdagangan dan keagamaan. Raja Babilonia yang terbesar adalah Hammurabi (1948-1905 SM). Raja Hammurabi terkenal sebagai pembuat Undang-undang. Menurut kepercayaan, undang-undang tersebut berasal dari pemberian Dewa Marduk. Agar dapat dibaca oleh masyarakat, maka undang-undang itu dipahatkan pada tugu batu setinggi 8 kaki yang ditempatkan di tengah ibukota. Inti dari hukum Hammurabi adalah pembalasan, misalnya mata ganti mata, gigi ganti gigi. Penerapan hukum itu sangat keras, contoh: “Jika seseorang melakukan pencurian di sebuah rumah, maka ia harus dibunuh dan dibakar di muka rumah tempat ia melakukan pencurian”. Dengan demikian keteraturan masyarakat tercapai karena ketaatan pada hukum. Setelah Hammurabi meninggal dunia, kira-kira tahun 1900 SM Babilonia ditaklukkan oleh bangsa Hittit dari dataran tinggi di sebelah utara Mesopotamia.
5. Bangsa Assyria (±1200 SM)
Bangsa Assyria termasuk rumpun bangsa Semit. Mereka membangun kota Asshur dan Niniveh. Kota Niniveh yang terletak di tepi sungai Tigris dijadikan ibukota. Pemerintahan bangsa Assyria bercorak militer. Bangsa Assyria digelari sebagai bangsa Roma dari Asia. Apa sebab muncul gelar tersebut? Karena seperti bangsa Romawi, bangsa Assyria merupakan penakluk daerah-daerah di sekitarnya sehingga berhasil membentuk imperium yang besar. Wilayah Assyria membentang dari teluk Persia sampai Laut Tengah. Mereka sangat ditakuti oleh bangsa lain karna pasukan infantri, kavaleri dan tentara dengan kereta perangnya sangat kuat.
Wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa propinsi dan setiap propinsi diperintah oleh gubernur yang bertanggungjawab kepada Raja. Untuk memperlancar hubungan antara ibukota dan daerah maka dibangunlah jalan raya yang bagus.
Selain kehidupannya yang bercorak militer, bangsa Assyria juga membangun negerinya menjadi sangat maju antara lain di bidang pendidikan. Salah seorang raja Assyria yang terkenal adalah Assurbanipal. Pada masa pemerintahannya ia meninggalkan 22000 buah lempengan tanah liat yang tersimpan di perpustakaan Niniveh. Lempengan (tablet-tablet) tersebut memuat tulisan tentang masalah keagamaan, sastra, pengobatan, matematika, ilmu pengetahuan alam, kamus dan sejarah.
6. Bangsa Babilonia Baru
Tampilnya suku bangsa Khaldea mengangkat kembali keperkasaan Babilonia yang dulu pernah jaya. Raja bangsa Khaldea yang terkenal adalah Nebukadnezar. Ia membangun kembali kota Babilon dan menjadikan kota tersebut sebagai ibukota sehingga disebut Babilonia Baru. Ada dua hal yang menarik di kota Babilonia yaitu menara Babel dan taman gantung. Menara babel yang tingginya mencapai 90 meter berfungsi sebagai keindahan kota serta mercusuar bagi para pedagang di sekitarnya yang akan menuju ke kota Babilonia.
Hal kedua yang menarik adalah pembuatan taman gantung yang dipersembahkan untuk isterinya.
Taman itu dibangun di atas bukit buatan. Tingginya 107 meter. Bentuknya berupa podium bertingkat yang ditanami pohon, rumput dan bunga-bungaan. Ada air terjun buatan berasal dari air sungai Eufrat yang dialirkan ke puncak bukit lalu mengalir melalui saluran buatan. Jika dilihat dari jauh seolah-olah taman itu menggantung, suatu pemandangan yang sangat menakjubkan.
Di bidang pengetahuan bangsa Khaldea telah mengembangkan astronomi dan astrologi. Mereka percaya bahwa masa depan dapat diketahui dengan mempelajari bintang-bintang. Selain meramal nasib seseorang juga ramalan tentang gerhana. Mereka membagi minggu dalam tujuh hari, satu hari ke dalam 12 jam ganda (1/2 hari siang/terang dan 1/2 hari malam/gelap). Menghitung lewatnya waktu dengan jam air (water clock) dan jam matahari (sundial).
Sebuah catatan penting mengenai Nebukadnezar adalah peristiwa penaklukan kerajaan Yudea dan Palestina. Ibukota Yerusalem direbutnya, kemah raja Sulaiman dibakar dan menjarah tanah Yudea. Bangsa Israel termasuk para pemimpinnya diangkut ke negerinya dijadikan budak dan tawanan. Peristiwa itu disebut masa pembuangan Babilon dari tahun 586-550 SM yang sangat membekas bagi bangsa Israel. Sesudah Nebukadnezar meninggal dunia tak lama yaitu tahun 539 SM, Babilonia Baru ditaklukkan oleh bangsa Persia.
C. Faktor-faktor kemajuan Peradaban Mesopotamia
1. Undang-undang Hammurabi
Berteraskan hak rakyat terhadap keadilan
Hukuman dan denda mestilah setimpal dengan kesalahan tetapi berbeda mengikut susunan lapis masyarakat
Terdapat 282 undang-undang dipahat pada tembok dan tiang besar untuk ratapan masyarakat
Mewujudkan perpaduan
Mengukuhkan sistem organisasi dalam kehidupan masyarakat
Membantu peradaban Mesopotamia bertahan untuk jangka masa yang panjang
2. Kewujudan Sistem Tulisan
Sistem pendidikan telah melahirkan juru tulis
Epik Gilgamesh merupakan hasil kesusasteraan yang tertua di dunia serta mengandungi falsafah dan cara hidup orang Mesopotamia
3. Perkembangan ilmu astronomi
Perkembangan ilmu matematik dan geometri
Menggunakan jalan laut
Mencipta kalender berasaskan sistem solar yang mengandungi 12 bulan dalam satu tahun
4. Perkembangan ilmu perubatan
Kerajaan Assyria mementingkan kesihatan anggota tenteranya
500 jenis 0bat-0batan termasuk herbal dan ramuan perobatan, serta cara mengobati
5. Penciptaan roda
Kereta kuda
Menciptakan kincir air, mengalirkan air ke kawasan tandus dan meningkatkan hasil pertanian serta dapat mengawal banjir
6. Alat pengangkutan yang terawal
Menggunakan kapal layar dan pengangkutan beroda
7. Membuat batu-bata daripada tanah liat
8. Mencipta arca dan tiang batu
Contoh: Raja Gudea
D. Kontribusi Bangsa Sumeria terhadap Peradaban Mesopotamia
Pada dasarnya yang disebut dengan peradaban Mesopotamia adalah peradaban Sumeria itu sendiri. Dikatakan demikian sebab secara umum, sebagaian besar peradaban Mesopotamia dibentuk oleh bangsa Sumeria. Bangsa-bangsa yang lain yang datang sesudahnya hanyalah meneruskan dan mengembangkan peradaban yang dicapai oleh bangsa sumeria. Sebagai misal ialah sistem ujaran yang disebut dengan tulisan paku, yang diciptakan oleh orang-orang Sumeria digunakan oleh bangsa-bangsa yang datang kemudian.
Adapun sumbangan bangsa Sumeria terhadap peradaban Mesopotamia dapat diungkapkan di sini antara lain ialah sebagai berikut:
1. Dalam bidang politik
Bentuk bangsa Sumeria adalah “Negara Kota” yang masing-masing Negara kota dipimpin oleh seorang raja. Sebagaimana telah disinggung di muka, masing-masing raja memilki otoritas penuh baik sebagai pemimpin politik, supervisor irigasi maupun pemimpin keagamaan. Mungkin lebih tepat bangsa Sumeria menganut sistem pemerintahan dan bentuk negara “kondefenderasi terbuka”. Persantuan diperlukan hanya dalam bidang militer ketika mendapatkan serangan dari luar. Namun tidak jarang juga terjadi persaingan dan ingin saling menguasai di antara Negara-negara kota sendiri. Sebagai contoh ialah ketika Dungi berkuasa, bangsa Sumeria berada di bawah kekuasaan tunggalnaya. Sistem pemerintahan bersifat despotik. Sebagai besar penduduknya merupakan budak atau dianggap sebagai budak yang hidup dalam sebuah tirani yang secara terpaksa harus rela menerima setiap kehendak raja. Raja berkedudukan sebagai dewa yang memerintah manusia di bumi. Kebebasan intelektual hanya sedikit diberikan.
2. Dalam bidang Ekonomi
Pola ekonomi bangsa Sumeria lebih sederhana. Negara memberikan kesempatan yang lebih luas kepada usaha yang bersifat individual. Kekayaan tidak secara eksklusif menjadi milik penguasa baik dalam praktek maupun teori. Demikian juga dalam bidang perdangan maupun industri tidak menjadi monopoli pemerintah. Hanya saja karena rakyat sebagai besar berstatus sebagai budak mereka tidak memiliki kesempatan mengembangkan ekonomi secara bebas. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki dan mengembangkan ekonomi atas nama mereka sendiri.
Aktifitas ekonomi sebagaian besar bertumpu pada produksi pertanian. Karena kondisi tanah yang subur dan pengairan yang sangat baik sekali, serta tersedianya tenaga-tenaga yang terampil dan ahli menjadikan pertanian menjadi sektor utama devisa negara. Hasil pertanian diangkut dengan kendaraan beroda sehingga memungkinkan mobilisasi yang cepat terhadap hasil pertanian.
Meskipun industri bukan tumpuan utama perekonomia bangsa sumeria bukan bearti tidak berkembang dengan baik. Dengan kendaraan beroda yang berhasil diciptakan. Mereka denagn mudah mengimpor bahan-bahan mentah yang didatangkan dari negara tentangga sebelah utara, terutama bahan manufaktur, untuk diubah menjadi produk siap pakai dan lalu mengekspor ke daerah-daerah lain yang luas. Barang–barang kerajinan yang terbuat dari logam mulia.diciptakan oleh tenaga-tenaga yang terampil dan ahli. Para saudagar dan pelancong yang datang dari arah utara dan barat melalui daerah “bualan sabit subur” menuju ke timur mediterrania dan mesir, singgah di Mesopotamia untuk membawa pradok-pradok industrimaupun pertanian bangsa sumeria.
Bukti telah ada hubungan antara Mesir dan Mesopotamia dapat dijelaskan dengan adanya keasamaan pada budaya tertentu antara keduanya. Yakni menggunakan sejenis senjata perang yang berbentuk bnuga yang ditemukan dalam seni dekorasi. Bahkan penemuan terakhir menujukan bahwa Mesopotamia telah mengadakan kontak dagang dengan india.
Di atas itu semua, bangsa Sumeria adalah masyarakat bisnis yang pragmatis. Kredit dan pinjaman diatur secara hati-hati. Segala perjajian ditulis dan ditanda tangani oleh saksi. Alat tukar perdagangan yang sudah digunakan ialah logam mulia seperti emas dan perak.
3. Dalam bidang seni dan Arsitektur.
Para arkelogi berhasil melakukan peneltian terhadap berbagai peninggalan bangsa Sumeria yang antara lain berupa lukisan –lukisan para penguasa yang terlukis dalam peta, kuil-kuil maupun dalam gundukan-gundukan tanah yang tertutup oleh benda-benda yang tidak berharga. Dan mereka berhasil mengungkapkan karateristik kebudayaan bangsa Sumeria dalam bidang arsitektur Sumeria terletak pada tingkat kerumitannya yang khas. Sebagai contoh ialah istana para raja (3500 SM ) dibangun berdasarkan perencaan yang rumit. Bangunan terdiri dari tangga yang besar dan tembok-temboknya dihiasi dengan relief-relief dengan bentuk binatang dan manusia. Sebenarnya orang-orang Sumeria lebih familiar dengan bangunan-bangunan yang berbentuk kubah. Akan tetapi karna tidak adanya batu besar di Mesopotamia membuat bangunan-bangunan seperti itu kurang berkembang.
Seni pahat bangsa Sumeria terdiri dari relief-relief yang digunakan untuk dekorasi dan isinya berupa cerita-cerita yang berupa bentuk badan manusia ataupun binatang. Manusia yang kekar adalah bentuk khas seni pahat yang paling digemari oleh bangsa Sumeria.
4. Dalam bidang agama
Agama menempati posisi yang penting dalam kehidupan sosial maupun politik serta ekonomi bangsa Sumeria. Agama berfungsi sebagai alat kontrol dan menuntun aktifitas-aktifitas manusia di dunia. Agama orang Sumeria adalah politeisme, sebab mereka menyembah banyak dewa. Dewa-dewa laki-laki. Samasy adalah dewa matahari yang berjenis kelamin laki-laki. Enslil adalah dewa penagtur angin dan hujan. Sedangkan ishtar adalah dewinya para dewi yang berkuasa atas bumi. Sedngakan rajanya para dinamakan nergal.
5. Dalam bidang ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan, bangsa Sumeria memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap peradaban dunia, meskipun tidak sebesar bangsa mesir kuno. Beberapa sumbangan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat diungkapkan di sini antara lain ialah “tulisan paku”. Tulisan paku ialah sebuah tulisan yang berbentuk baji (irisan) yang tertulis di atas lempengan-lempengan tanah kering dalam bentuk empat persegi. Pada awalnya tulisan ini menggunkan sistem pictografi. Secara berangsur-angsur sistem itu berubah menjadi lambang ujaran (phoenitik signa) hingga menjadi 150 lambang ujaran (huruf). Tulisan ini di gunakan hingga sepuluh abad setelah bangsa sumeria sendiri lenyap.
III. PENUTUP
Dari uraian di atas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil kesimpulan antara lain ialah sebagai berikut.
1. Mesopotamia adalah daerah perlembahan yang diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Tigris dan sungai Euphrat. Daerah ini pada mulanya adalah daerah rawa-rwa yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang rimbun yang berfungsi sebagia penahan banjir yang ditimbulkan oleh luapan kedua sungai tersebut.
2. Sejarahwan menduga bahwa bangsa Sumeria adalah pembangunan peradaban Mesopotamia pertama. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui secara pasti yang jelas mereka telah menetap di Mesopotamia sejak sekitar tahun 5000 SM.
3. Kondisi alam Mesopotamia berpengaruhg sekali terhadap karateristik peradaban yang dibangun oleh bangsa-bangsa yang pernah tinggal di sana tidak terkecuali bangsa Sumeria.
4. Sumbangan bangsa Sumeria terhadap peradaban Mesopotamia khususnya dan dunia pada umumnya antara lain ialah pada bentuk negra, yang disebut dengan negara kota. Juga tulisan yang disebut dengan tulisan paku, kalender, jam air, dll.
5. Tingkat kemajuan peradaban bangsa Sumeria dibuktikan dengan diadopsinya kebudayaan mereka oleh bangsa-bangsa lain yang datang sesudahnya.
Mesopotamia terletak di antara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris. Daerah yang kini menjadi Republik Irak itu di zaman dahulu disebut Mesopotamia, yang dalam bahasa Yunani berarti "(daerah) di antara sungai-sungai". Entah sejak kapan nama itu dipakai untuk menyebut daerah itu. Namun, para penulis Yunani dan Latin kuno, seperti Polybius (abad 2 SM) dan Strabo (60 SM-20 M), sudah menggunakannya.
Sejarah Mesopotamia diawali dengan tumbuhnya sebuah peradaban, yang diyakini sebagai pusat peradaban tertua di dunia, oleh bangsa Sumeria. Bangsa Sumeria membangun beberapa kota kuno yang terkenal, yaitu Ur, Ereck, Kish, dll. Kehadiran seorang tokoh imperialistik dari bangsa lain yg juga mendiami kawasan Mesopotamia, bangsa Akkadia, dipimpin Sargon Agung, ternyata melakukan sebuah penaklukan politis, tapi bukan penaklukan kultural. Bahkan dalam berbagai hal budaya Sumer dan Akkad berakulturasi, sehingga era kepemimpinan ini sering disebut Jilid Sumer-Akkad. Campur tangan Sumer tidak dapat diremehkan begitu saja, pada saat Akkad terdesak oleh bangsa Gutti, bangsa Sumer-lah yg mendukung Akkad, sehingga mereka masih dapat berkuasa di "tanah antara dua sungai" itu.
II. PEMBAHASAN
A. Letak Geografis dan Kondisi Alam Mesopotamia
Mesopotamia adalah suatu wilayah perlembahan yang terletak di antara dua sungai Tigris dan Eufrat. Hulu kedua sungai tersebut berasal dari dataran tinggi yang bergunung-gunung di Asia Kecil yang mengalir ke arah tenggara secara pararel menyisir hamparan terbuka. Hanya kurang dari dua ratus mil, kedua sungai itu saling mendekat. Daerah yang dilalui kedua sungai itu pada umumnya subur. Sebab daerah itu merupakan daerah yang berupa tanah hasil endapan air yang dihasilkan dari sungai Tigris dan Eufrat.
B. Bangsa-bangsa pendukung Peradaban Mesopotamia
1. Bangsa Ubaid
Merupakan bangsa pertama yang telah tinggal di Mesopotamia selama bertahun-tahun. Bangsa ini bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam biji-bijian dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana irigasi pertanian ini dilakukan di daerah yang subur.
2. Bangsa Sumeria (± 3000 SM)
Merupakan bangsa yang ada setelah bangsa Ubaid telah punah. Bangsa ini bermata pencaharian sebagai petani yaitu dengan cara melanjutkan pertanian yang dilakukan oleh bangsa Ubaid. Namun berbeda dengan para pendahulunya bangsa Sumeria memperbaharui sistem irigasi dengan membuat waduk-waduk agar ketika musim kemarau mereka tetap akan bisa melakukan pengairan ke ladang-ladang mereka. Bangsa Sumeria adalah bangsa yang pertama mendiami Mesopotamia. Mula-mula daerah tersebut berupa rawa-rawa. Setelah dikeringkan daerah tersebut menjadi pemukiman yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang teratur. Kota yang dihuni tertua adalah Ur dan kemudian Sumer.
3. Bangsa Akkadia (± 2350 SM)
Memasuki tahun 2800 SM, Mesopotamia dikuasai oleh bangsa Akkadia, setelah berhasil mengalahkan bangsa Sumeria. Pemimpin bangsa Akkadia adalah raja Sargon. Memilih Agade sebagai ibukotanya. Dari segi kebudayaan bangsa Akkadia meniru kebudayaan bangsa Sumeria yang sudah maju sehingga berkembanglah budaya baru yang disebut budaya Sumer Akkad berbahasa semit.
4. Bangsa Babilonia (±1900 SM)
Kerajaan Babilonia didirikan oleh bangsa Amorit yang disebut juga Babilonia. Kata Babilonia berasal dari kata babilu yang berarti gerbang menuju Tuhan. Babilon terletak ± 97 kilometer di selatan kota Baghdad sekarang, di tepi sungai Eufrat, Irak selatan. Babilon menjadi pemerintahan (ibukota), perdagangan dan keagamaan. Raja Babilonia yang terbesar adalah Hammurabi (1948-1905 SM). Raja Hammurabi terkenal sebagai pembuat Undang-undang. Menurut kepercayaan, undang-undang tersebut berasal dari pemberian Dewa Marduk. Agar dapat dibaca oleh masyarakat, maka undang-undang itu dipahatkan pada tugu batu setinggi 8 kaki yang ditempatkan di tengah ibukota. Inti dari hukum Hammurabi adalah pembalasan, misalnya mata ganti mata, gigi ganti gigi. Penerapan hukum itu sangat keras, contoh: “Jika seseorang melakukan pencurian di sebuah rumah, maka ia harus dibunuh dan dibakar di muka rumah tempat ia melakukan pencurian”. Dengan demikian keteraturan masyarakat tercapai karena ketaatan pada hukum. Setelah Hammurabi meninggal dunia, kira-kira tahun 1900 SM Babilonia ditaklukkan oleh bangsa Hittit dari dataran tinggi di sebelah utara Mesopotamia.
5. Bangsa Assyria (±1200 SM)
Bangsa Assyria termasuk rumpun bangsa Semit. Mereka membangun kota Asshur dan Niniveh. Kota Niniveh yang terletak di tepi sungai Tigris dijadikan ibukota. Pemerintahan bangsa Assyria bercorak militer. Bangsa Assyria digelari sebagai bangsa Roma dari Asia. Apa sebab muncul gelar tersebut? Karena seperti bangsa Romawi, bangsa Assyria merupakan penakluk daerah-daerah di sekitarnya sehingga berhasil membentuk imperium yang besar. Wilayah Assyria membentang dari teluk Persia sampai Laut Tengah. Mereka sangat ditakuti oleh bangsa lain karna pasukan infantri, kavaleri dan tentara dengan kereta perangnya sangat kuat.
Wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa propinsi dan setiap propinsi diperintah oleh gubernur yang bertanggungjawab kepada Raja. Untuk memperlancar hubungan antara ibukota dan daerah maka dibangunlah jalan raya yang bagus.
Selain kehidupannya yang bercorak militer, bangsa Assyria juga membangun negerinya menjadi sangat maju antara lain di bidang pendidikan. Salah seorang raja Assyria yang terkenal adalah Assurbanipal. Pada masa pemerintahannya ia meninggalkan 22000 buah lempengan tanah liat yang tersimpan di perpustakaan Niniveh. Lempengan (tablet-tablet) tersebut memuat tulisan tentang masalah keagamaan, sastra, pengobatan, matematika, ilmu pengetahuan alam, kamus dan sejarah.
6. Bangsa Babilonia Baru
Tampilnya suku bangsa Khaldea mengangkat kembali keperkasaan Babilonia yang dulu pernah jaya. Raja bangsa Khaldea yang terkenal adalah Nebukadnezar. Ia membangun kembali kota Babilon dan menjadikan kota tersebut sebagai ibukota sehingga disebut Babilonia Baru. Ada dua hal yang menarik di kota Babilonia yaitu menara Babel dan taman gantung. Menara babel yang tingginya mencapai 90 meter berfungsi sebagai keindahan kota serta mercusuar bagi para pedagang di sekitarnya yang akan menuju ke kota Babilonia.
Hal kedua yang menarik adalah pembuatan taman gantung yang dipersembahkan untuk isterinya.
Taman itu dibangun di atas bukit buatan. Tingginya 107 meter. Bentuknya berupa podium bertingkat yang ditanami pohon, rumput dan bunga-bungaan. Ada air terjun buatan berasal dari air sungai Eufrat yang dialirkan ke puncak bukit lalu mengalir melalui saluran buatan. Jika dilihat dari jauh seolah-olah taman itu menggantung, suatu pemandangan yang sangat menakjubkan.
Di bidang pengetahuan bangsa Khaldea telah mengembangkan astronomi dan astrologi. Mereka percaya bahwa masa depan dapat diketahui dengan mempelajari bintang-bintang. Selain meramal nasib seseorang juga ramalan tentang gerhana. Mereka membagi minggu dalam tujuh hari, satu hari ke dalam 12 jam ganda (1/2 hari siang/terang dan 1/2 hari malam/gelap). Menghitung lewatnya waktu dengan jam air (water clock) dan jam matahari (sundial).
Sebuah catatan penting mengenai Nebukadnezar adalah peristiwa penaklukan kerajaan Yudea dan Palestina. Ibukota Yerusalem direbutnya, kemah raja Sulaiman dibakar dan menjarah tanah Yudea. Bangsa Israel termasuk para pemimpinnya diangkut ke negerinya dijadikan budak dan tawanan. Peristiwa itu disebut masa pembuangan Babilon dari tahun 586-550 SM yang sangat membekas bagi bangsa Israel. Sesudah Nebukadnezar meninggal dunia tak lama yaitu tahun 539 SM, Babilonia Baru ditaklukkan oleh bangsa Persia.
C. Faktor-faktor kemajuan Peradaban Mesopotamia
1. Undang-undang Hammurabi
Berteraskan hak rakyat terhadap keadilan
Hukuman dan denda mestilah setimpal dengan kesalahan tetapi berbeda mengikut susunan lapis masyarakat
Terdapat 282 undang-undang dipahat pada tembok dan tiang besar untuk ratapan masyarakat
Mewujudkan perpaduan
Mengukuhkan sistem organisasi dalam kehidupan masyarakat
Membantu peradaban Mesopotamia bertahan untuk jangka masa yang panjang
2. Kewujudan Sistem Tulisan
Sistem pendidikan telah melahirkan juru tulis
Epik Gilgamesh merupakan hasil kesusasteraan yang tertua di dunia serta mengandungi falsafah dan cara hidup orang Mesopotamia
3. Perkembangan ilmu astronomi
Perkembangan ilmu matematik dan geometri
Menggunakan jalan laut
Mencipta kalender berasaskan sistem solar yang mengandungi 12 bulan dalam satu tahun
4. Perkembangan ilmu perubatan
Kerajaan Assyria mementingkan kesihatan anggota tenteranya
500 jenis 0bat-0batan termasuk herbal dan ramuan perobatan, serta cara mengobati
5. Penciptaan roda
Kereta kuda
Menciptakan kincir air, mengalirkan air ke kawasan tandus dan meningkatkan hasil pertanian serta dapat mengawal banjir
6. Alat pengangkutan yang terawal
Menggunakan kapal layar dan pengangkutan beroda
7. Membuat batu-bata daripada tanah liat
8. Mencipta arca dan tiang batu
Contoh: Raja Gudea
D. Kontribusi Bangsa Sumeria terhadap Peradaban Mesopotamia
Pada dasarnya yang disebut dengan peradaban Mesopotamia adalah peradaban Sumeria itu sendiri. Dikatakan demikian sebab secara umum, sebagaian besar peradaban Mesopotamia dibentuk oleh bangsa Sumeria. Bangsa-bangsa yang lain yang datang sesudahnya hanyalah meneruskan dan mengembangkan peradaban yang dicapai oleh bangsa sumeria. Sebagai misal ialah sistem ujaran yang disebut dengan tulisan paku, yang diciptakan oleh orang-orang Sumeria digunakan oleh bangsa-bangsa yang datang kemudian.
Adapun sumbangan bangsa Sumeria terhadap peradaban Mesopotamia dapat diungkapkan di sini antara lain ialah sebagai berikut:
1. Dalam bidang politik
Bentuk bangsa Sumeria adalah “Negara Kota” yang masing-masing Negara kota dipimpin oleh seorang raja. Sebagaimana telah disinggung di muka, masing-masing raja memilki otoritas penuh baik sebagai pemimpin politik, supervisor irigasi maupun pemimpin keagamaan. Mungkin lebih tepat bangsa Sumeria menganut sistem pemerintahan dan bentuk negara “kondefenderasi terbuka”. Persantuan diperlukan hanya dalam bidang militer ketika mendapatkan serangan dari luar. Namun tidak jarang juga terjadi persaingan dan ingin saling menguasai di antara Negara-negara kota sendiri. Sebagai contoh ialah ketika Dungi berkuasa, bangsa Sumeria berada di bawah kekuasaan tunggalnaya. Sistem pemerintahan bersifat despotik. Sebagai besar penduduknya merupakan budak atau dianggap sebagai budak yang hidup dalam sebuah tirani yang secara terpaksa harus rela menerima setiap kehendak raja. Raja berkedudukan sebagai dewa yang memerintah manusia di bumi. Kebebasan intelektual hanya sedikit diberikan.
2. Dalam bidang Ekonomi
Pola ekonomi bangsa Sumeria lebih sederhana. Negara memberikan kesempatan yang lebih luas kepada usaha yang bersifat individual. Kekayaan tidak secara eksklusif menjadi milik penguasa baik dalam praktek maupun teori. Demikian juga dalam bidang perdangan maupun industri tidak menjadi monopoli pemerintah. Hanya saja karena rakyat sebagai besar berstatus sebagai budak mereka tidak memiliki kesempatan mengembangkan ekonomi secara bebas. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki dan mengembangkan ekonomi atas nama mereka sendiri.
Aktifitas ekonomi sebagaian besar bertumpu pada produksi pertanian. Karena kondisi tanah yang subur dan pengairan yang sangat baik sekali, serta tersedianya tenaga-tenaga yang terampil dan ahli menjadikan pertanian menjadi sektor utama devisa negara. Hasil pertanian diangkut dengan kendaraan beroda sehingga memungkinkan mobilisasi yang cepat terhadap hasil pertanian.
Meskipun industri bukan tumpuan utama perekonomia bangsa sumeria bukan bearti tidak berkembang dengan baik. Dengan kendaraan beroda yang berhasil diciptakan. Mereka denagn mudah mengimpor bahan-bahan mentah yang didatangkan dari negara tentangga sebelah utara, terutama bahan manufaktur, untuk diubah menjadi produk siap pakai dan lalu mengekspor ke daerah-daerah lain yang luas. Barang–barang kerajinan yang terbuat dari logam mulia.diciptakan oleh tenaga-tenaga yang terampil dan ahli. Para saudagar dan pelancong yang datang dari arah utara dan barat melalui daerah “bualan sabit subur” menuju ke timur mediterrania dan mesir, singgah di Mesopotamia untuk membawa pradok-pradok industrimaupun pertanian bangsa sumeria.
Bukti telah ada hubungan antara Mesir dan Mesopotamia dapat dijelaskan dengan adanya keasamaan pada budaya tertentu antara keduanya. Yakni menggunakan sejenis senjata perang yang berbentuk bnuga yang ditemukan dalam seni dekorasi. Bahkan penemuan terakhir menujukan bahwa Mesopotamia telah mengadakan kontak dagang dengan india.
Di atas itu semua, bangsa Sumeria adalah masyarakat bisnis yang pragmatis. Kredit dan pinjaman diatur secara hati-hati. Segala perjajian ditulis dan ditanda tangani oleh saksi. Alat tukar perdagangan yang sudah digunakan ialah logam mulia seperti emas dan perak.
3. Dalam bidang seni dan Arsitektur.
Para arkelogi berhasil melakukan peneltian terhadap berbagai peninggalan bangsa Sumeria yang antara lain berupa lukisan –lukisan para penguasa yang terlukis dalam peta, kuil-kuil maupun dalam gundukan-gundukan tanah yang tertutup oleh benda-benda yang tidak berharga. Dan mereka berhasil mengungkapkan karateristik kebudayaan bangsa Sumeria dalam bidang arsitektur Sumeria terletak pada tingkat kerumitannya yang khas. Sebagai contoh ialah istana para raja (3500 SM ) dibangun berdasarkan perencaan yang rumit. Bangunan terdiri dari tangga yang besar dan tembok-temboknya dihiasi dengan relief-relief dengan bentuk binatang dan manusia. Sebenarnya orang-orang Sumeria lebih familiar dengan bangunan-bangunan yang berbentuk kubah. Akan tetapi karna tidak adanya batu besar di Mesopotamia membuat bangunan-bangunan seperti itu kurang berkembang.
Seni pahat bangsa Sumeria terdiri dari relief-relief yang digunakan untuk dekorasi dan isinya berupa cerita-cerita yang berupa bentuk badan manusia ataupun binatang. Manusia yang kekar adalah bentuk khas seni pahat yang paling digemari oleh bangsa Sumeria.
4. Dalam bidang agama
Agama menempati posisi yang penting dalam kehidupan sosial maupun politik serta ekonomi bangsa Sumeria. Agama berfungsi sebagai alat kontrol dan menuntun aktifitas-aktifitas manusia di dunia. Agama orang Sumeria adalah politeisme, sebab mereka menyembah banyak dewa. Dewa-dewa laki-laki. Samasy adalah dewa matahari yang berjenis kelamin laki-laki. Enslil adalah dewa penagtur angin dan hujan. Sedangkan ishtar adalah dewinya para dewi yang berkuasa atas bumi. Sedngakan rajanya para dinamakan nergal.
5. Dalam bidang ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan, bangsa Sumeria memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap peradaban dunia, meskipun tidak sebesar bangsa mesir kuno. Beberapa sumbangan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat diungkapkan di sini antara lain ialah “tulisan paku”. Tulisan paku ialah sebuah tulisan yang berbentuk baji (irisan) yang tertulis di atas lempengan-lempengan tanah kering dalam bentuk empat persegi. Pada awalnya tulisan ini menggunkan sistem pictografi. Secara berangsur-angsur sistem itu berubah menjadi lambang ujaran (phoenitik signa) hingga menjadi 150 lambang ujaran (huruf). Tulisan ini di gunakan hingga sepuluh abad setelah bangsa sumeria sendiri lenyap.
III. PENUTUP
Dari uraian di atas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil kesimpulan antara lain ialah sebagai berikut.
1. Mesopotamia adalah daerah perlembahan yang diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Tigris dan sungai Euphrat. Daerah ini pada mulanya adalah daerah rawa-rwa yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang rimbun yang berfungsi sebagia penahan banjir yang ditimbulkan oleh luapan kedua sungai tersebut.
2. Sejarahwan menduga bahwa bangsa Sumeria adalah pembangunan peradaban Mesopotamia pertama. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui secara pasti yang jelas mereka telah menetap di Mesopotamia sejak sekitar tahun 5000 SM.
3. Kondisi alam Mesopotamia berpengaruhg sekali terhadap karateristik peradaban yang dibangun oleh bangsa-bangsa yang pernah tinggal di sana tidak terkecuali bangsa Sumeria.
4. Sumbangan bangsa Sumeria terhadap peradaban Mesopotamia khususnya dan dunia pada umumnya antara lain ialah pada bentuk negra, yang disebut dengan negara kota. Juga tulisan yang disebut dengan tulisan paku, kalender, jam air, dll.
5. Tingkat kemajuan peradaban bangsa Sumeria dibuktikan dengan diadopsinya kebudayaan mereka oleh bangsa-bangsa lain yang datang sesudahnya.
I. Pendahuluan
Sejarah masuknya agama Islam di pulau Papua dan proses penyebaran awal di tengah-tengah masyarakat Papua memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Artinya, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di kalangan umat Islam di pulau Papua menyangkut kapan waktu pertama kali Islam hadir di pulau Papua, dari mana Islam datang, bagaimana proses penyebarannya. Buku “Sejarah Umat Islam Indonesia” yang disusun oleh tim ahli yang diketuai oleh Taufik Abdullah, ternyata sama sekali tidak menyebutkan nama daerah Irian Jaya (Papua). hal ini menandakan bahwa kajian sejarah Islam di Papua masih diluar jangkauan dan penelitian para ahli sejarah. Untuk itu pada makalah ini akan sedikit di bahas tentang masuknya Islam di pulau Papua.
II. Pembahasan
A. Kedatangan dan Penerimaan Islam
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga maslah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sarjanawan lokal maupun asing. Kesan yang timbul penduduk Papua identik dengan pemeluk Kristen, sementara agama Islam bukan sesuatu yang asing bagi orang Papua karena mereka sudah berinteraksi dengan para pedagang Muslim dan Raja-raja Muslim di Maluku sejak abad XV atau abad sebelumnya. Sementara agama Kristen dan Katolik baru disyiarkan ke tanah Papua pada pertengahan abad XIX.
Kedatangan Islam di tanah Papua, juga masih terjadi silang pendapat di antara para pemerhati, peneliti maupun para keturunan Raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Di antara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkeologis.
Penelusuran sejarah awal Islamisasi di Tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di beberapa tempat di tanah Papua. versi-versi mengenai Islamisasi di tanah Papua, setidaknya terdapat 7 versi, yaitu sebagai berikut:
1. Versi Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Pada umumnya teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan dibawa dan disebarkan oleh kerajaan Tidore atau pedagang Muslim dan da’i dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun, Islam berasal dari Papua sendiri sejak pulau Papua diciptakan Allah Swt. Mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri. Tidak hanya Islam, Kristen juga telah terdapat di Papua sebelum agama Kristen disebarkan ke Papua.
2. Versi Aceh
Menurut sejarah lisan dari daerah Kokas, Fakfak bahwa Syekh Abdurrauf yang merupakan putra ke 27 dari Wliyullah Syekh Abdul Qadir Jaelani dari kerajaan Samudera Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua) sekitar abad XIII tepatnya 17 Juli 1224, datang Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kabupaten Fakfak. Orang pertama yang diajarkan Syekh Iskandar Syah bernama Kriskris. Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan; “jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad)”. Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi Imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja pertama di Patipi, Fakfak.
3. Versi Arab
Dalam catatan sejarah kerajaan Nuu Iha (sekarang Sirisori) di Ambon bahwa sekitar tahun 1212 M sampai dengan 1215 M terdapat 3 (tiga) orang mujahidin yang datang dari Irak, masing-masing adalah Syekh Abdul Aziz Assegaf Maulana Malik Ibrahim, Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah, (dua bersaudara) yang memasuki Asia Tenggara. Pada tahun 1215 M mereka tiba di Nusa Iha dan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang bernama Ama Iha I, berkedudukan di Louhatt Amalutu sekarang bernama Sirisori Islam di Ambon.
Pada tahun 1230 M, Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah dengan istrinya Nyai Mara Utah telah memasuki Jazirah Onin, Rumbati-Fakfak. Dan mendirikan kerajaan Islam yang bernama Woni Epapua, dari perkawinannya telah dianugerahi 10 orang anak. Maulana Saniki Yarimullah diberi gelar dengan nama Koning Papua (putra dari kayangan). Akibat perselisihan dalam keluarga, maka pada tahun 1363 lima orang dari mereka memutuskan untuk kembali ke Nusa Iha, sedangkan 5 lainnya menetap di Papua yang kemudian sebagai turunan dari Raja Ampat (kerajaan Misool), Raja Patiran, Poy Waru yang bermarga Patagras, serta Poy Sinna (Raja Kokas yang bermarga Patimura). Namun keturunan dari mereka belum dapat diketahui secara jelas.
4. Versi Jawa
Pada taun 1518 M, Sultan Adipato Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang Lor anak Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesultanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam rangka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir Barat dan Utara Papua.
5. Versi Banda
Menurut Halwany Microb Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakukan oleh dua orang mubaligh bernama Salahuddin dan Jainun dari Banda yang sezaman dengan Sultan Tidore sekitar abad XVI, terjadi di pulau Misool yang belum terjangkau oleh Sultan Ternate dan Tidore. Proses pengislaman yang dilakukan antaralain dengan jalan khitanan (sunatan), tetapi dibawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh itu akan dibunuh. Akhirnya keduanya berhasil dalam khitanan tersebut, maka penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
6. Versi Bacan
Kesultanan bacan di masa Sultan Muhammad al-Baqir lewat piagam kasiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar Mamlakatul Mulukiyah atau Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo) lewat walinya Jafar As-Shodiq (1250 M) melalui keturunannya ke seluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa, dan Papua. maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah Kesultanan Bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan-kerajaan kecil di kepulauan Raja Ampat.
7. Versi Tidore dan Ternate
Sebuah catatan sejarah Kesultanan Tidore “Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” menulis pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) bernama Sangaji Patani Sahmardan Dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke Tanah Besar melewati pulau-pulau seperti Patani, Gebe, Waigeo.
Dalam dokumen sejarah tersebut disampaikan bahwa ekspedisi baginda Sultan berangkat dari Rum ibukota Kesultanan Tidore waktu itu, menuju Patani untuk selanjutnya ke Papua. di setiap tempat yang disinggahi, Sultan berkenan mengajarkan agama Islam dan mengangkat pemuda dari penduduk setempat menjadi pemimpin atas kaumnya dan diberi gelar Sangaji Kapita Lau, Gimalaha dan lain-lain.
B. Pola Penyebaran Islam
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat Muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim, mengambil proses waktu berabad-abad. Demikian pula proses tersebut melalui bermacam-macam cara. Secara garis besar proses penyebaran Islam dapat melalui berbagai saluran seperti: perdagangan, perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan, tasawuf, cabang-cabang kesenian dan lain-lain.
Pola penyebaran Islam di Tanah Papua, juga melalui beberapa saluran antara lain sebagai berikut:
1. Saluran Perdagangan
2. Saluran Sosial Kultural
3. Saluran Politik
4. Saluran Perkawinan
5. Saluran Pendidikan
C. Timbulnya Kerajaan-Kerajaan (Petuanan) Islam
Taufiq Abdullah menyatakan bahwa terdapat tiga konsep tentang masuknya agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang, yang dinyatakan dengan adanya bekas peninggalan Islam di kawasan yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan dengan adanya masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan tersebut.
Dari ketiga konsep di atas, di Tanah Papua pun berdiri kerajaan-kerajaan (petuanan) Islam mini yang di berikan otonomi oleh Kesultanan di Maluku. Kerajaan-kerajaan Islam mini ini terdapat di kepulauan Raja Ampat-Sorong dan Jazirah Bomberay (Fakfak dan Kaimana), yaitu:
1. Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat
Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat terbagi dalam 4 kerajaan, yaitu: (1) Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di Weweyai, Pulau Waigeo; (2) Kerajaan Salawati dengan pusatnya di Sailolof, pulau Salawatati Selatan; (3) Kerajaan Misool dengan pusatnya di Lilinta, Pulau Misool; (4) Kerajaan Batanta.
2. Kerajaan-kerajaan Islam di Wilayah Fakfak dan Kaimana
Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat terbagi dalam 9 kerajaan, yaitu: (1) Kerajaan Namatota; (2) Kerajaan Komisi; (3) Kerajaan Fatagar; (4) Kerajaan Ati-Ati; (5) Kerajaan Rumbati; (6) Kerajaan Pattipi; (7) Kerajaan Sekar; (8) Kerajaan Wertuar; dan (9) Kerajaan Arguni.
D. Bukti-Bukti Peninggalan
1. Daerah Fakfak dan Kaimana
Di daerah Fakfak dan Kimana terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: terdapat tiga buah masjid tua, masing-masing Masjid Tunasgain di kampung Tunasgain, distrik Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di pulau Tubirseram, dan Masjid Patimburak di kampung Ptimburak. Selain bukti masjid-masjid tersebut, terdapat juga bukti lain yaitu naskah kuno, Manuskrip yang berupa mushaf al-Qur’an yang ditulis di atas kulit kayu dan masih banyak yang lainnya.
2. Daerah Raja Ampat
Di daerah Raja Ampat terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: Living Monument (masjid-masjid) dan Dead Monument (makam-makam Islam lama).
3. Kepulauan Mansinam Manokwari
Di daerah Manokwari terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: salinan manuskrip yang aslinya berbahasa Tidore kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
III. Penutup
Potret suasana keagamaan di daerah Papua Barat tersebut menarik, karena di satu sisi agama Islam telah merupakan “agama resmi” bagi kerajaan-kerajaan di kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin dan di daerah Kowiai (Kaimana). Hal ini ditandai dengan raja dan keluarganya yang telah memeluk agama Islam, serta adanya institusi resmi yang berkaitan pengaturan kehidupan masyarakat. Pengaruh Raja umumnya sangat besar dalam membantu tersebarnya Islam di daerah ini.
Diterimanya Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat Papua, maka pranata-pranat kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Keadaan ini terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama, tidak terlalu banyak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah adasebelumnya. Apa yang dibawa oleh Islam pada mulanya hanyalah urusan-urusan ‘ubudiyah (ibadah) dan tidak mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada. Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural mereka, karena sasaran utama dari pada penyebaran awal Islam hanya tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat. Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
______________. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1979.
Abidin, Ahmad Zainal. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang, 1979.
Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera, 2007.
Amrullah, H. Abdul Malik Karim. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan Al-Aidrus, Muhammad. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1997.
Herry, Nachrawy. Peranan Ternate Tidore Dalam Pembebasan Irian Barat. Ternate: Yayasan Kie Raha, 2004.
Pijper. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Rais, Amin. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Lentera, 1999.
Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Umat Islam Di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Sejarah masuknya agama Islam di pulau Papua dan proses penyebaran awal di tengah-tengah masyarakat Papua memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Artinya, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di kalangan umat Islam di pulau Papua menyangkut kapan waktu pertama kali Islam hadir di pulau Papua, dari mana Islam datang, bagaimana proses penyebarannya. Buku “Sejarah Umat Islam Indonesia” yang disusun oleh tim ahli yang diketuai oleh Taufik Abdullah, ternyata sama sekali tidak menyebutkan nama daerah Irian Jaya (Papua). hal ini menandakan bahwa kajian sejarah Islam di Papua masih diluar jangkauan dan penelitian para ahli sejarah. Untuk itu pada makalah ini akan sedikit di bahas tentang masuknya Islam di pulau Papua.
II. Pembahasan
A. Kedatangan dan Penerimaan Islam
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga maslah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sarjanawan lokal maupun asing. Kesan yang timbul penduduk Papua identik dengan pemeluk Kristen, sementara agama Islam bukan sesuatu yang asing bagi orang Papua karena mereka sudah berinteraksi dengan para pedagang Muslim dan Raja-raja Muslim di Maluku sejak abad XV atau abad sebelumnya. Sementara agama Kristen dan Katolik baru disyiarkan ke tanah Papua pada pertengahan abad XIX.
Kedatangan Islam di tanah Papua, juga masih terjadi silang pendapat di antara para pemerhati, peneliti maupun para keturunan Raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Di antara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkeologis.
Penelusuran sejarah awal Islamisasi di Tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di beberapa tempat di tanah Papua. versi-versi mengenai Islamisasi di tanah Papua, setidaknya terdapat 7 versi, yaitu sebagai berikut:
1. Versi Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Pada umumnya teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan dibawa dan disebarkan oleh kerajaan Tidore atau pedagang Muslim dan da’i dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun, Islam berasal dari Papua sendiri sejak pulau Papua diciptakan Allah Swt. Mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri. Tidak hanya Islam, Kristen juga telah terdapat di Papua sebelum agama Kristen disebarkan ke Papua.
2. Versi Aceh
Menurut sejarah lisan dari daerah Kokas, Fakfak bahwa Syekh Abdurrauf yang merupakan putra ke 27 dari Wliyullah Syekh Abdul Qadir Jaelani dari kerajaan Samudera Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua) sekitar abad XIII tepatnya 17 Juli 1224, datang Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kabupaten Fakfak. Orang pertama yang diajarkan Syekh Iskandar Syah bernama Kriskris. Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan; “jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad)”. Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi Imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja pertama di Patipi, Fakfak.
3. Versi Arab
Dalam catatan sejarah kerajaan Nuu Iha (sekarang Sirisori) di Ambon bahwa sekitar tahun 1212 M sampai dengan 1215 M terdapat 3 (tiga) orang mujahidin yang datang dari Irak, masing-masing adalah Syekh Abdul Aziz Assegaf Maulana Malik Ibrahim, Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah, (dua bersaudara) yang memasuki Asia Tenggara. Pada tahun 1215 M mereka tiba di Nusa Iha dan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang bernama Ama Iha I, berkedudukan di Louhatt Amalutu sekarang bernama Sirisori Islam di Ambon.
Pada tahun 1230 M, Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah dengan istrinya Nyai Mara Utah telah memasuki Jazirah Onin, Rumbati-Fakfak. Dan mendirikan kerajaan Islam yang bernama Woni Epapua, dari perkawinannya telah dianugerahi 10 orang anak. Maulana Saniki Yarimullah diberi gelar dengan nama Koning Papua (putra dari kayangan). Akibat perselisihan dalam keluarga, maka pada tahun 1363 lima orang dari mereka memutuskan untuk kembali ke Nusa Iha, sedangkan 5 lainnya menetap di Papua yang kemudian sebagai turunan dari Raja Ampat (kerajaan Misool), Raja Patiran, Poy Waru yang bermarga Patagras, serta Poy Sinna (Raja Kokas yang bermarga Patimura). Namun keturunan dari mereka belum dapat diketahui secara jelas.
4. Versi Jawa
Pada taun 1518 M, Sultan Adipato Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang Lor anak Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesultanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam rangka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir Barat dan Utara Papua.
5. Versi Banda
Menurut Halwany Microb Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakukan oleh dua orang mubaligh bernama Salahuddin dan Jainun dari Banda yang sezaman dengan Sultan Tidore sekitar abad XVI, terjadi di pulau Misool yang belum terjangkau oleh Sultan Ternate dan Tidore. Proses pengislaman yang dilakukan antaralain dengan jalan khitanan (sunatan), tetapi dibawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh itu akan dibunuh. Akhirnya keduanya berhasil dalam khitanan tersebut, maka penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
6. Versi Bacan
Kesultanan bacan di masa Sultan Muhammad al-Baqir lewat piagam kasiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar Mamlakatul Mulukiyah atau Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo) lewat walinya Jafar As-Shodiq (1250 M) melalui keturunannya ke seluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa, dan Papua. maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah Kesultanan Bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan-kerajaan kecil di kepulauan Raja Ampat.
7. Versi Tidore dan Ternate
Sebuah catatan sejarah Kesultanan Tidore “Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” menulis pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) bernama Sangaji Patani Sahmardan Dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke Tanah Besar melewati pulau-pulau seperti Patani, Gebe, Waigeo.
Dalam dokumen sejarah tersebut disampaikan bahwa ekspedisi baginda Sultan berangkat dari Rum ibukota Kesultanan Tidore waktu itu, menuju Patani untuk selanjutnya ke Papua. di setiap tempat yang disinggahi, Sultan berkenan mengajarkan agama Islam dan mengangkat pemuda dari penduduk setempat menjadi pemimpin atas kaumnya dan diberi gelar Sangaji Kapita Lau, Gimalaha dan lain-lain.
B. Pola Penyebaran Islam
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat Muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim, mengambil proses waktu berabad-abad. Demikian pula proses tersebut melalui bermacam-macam cara. Secara garis besar proses penyebaran Islam dapat melalui berbagai saluran seperti: perdagangan, perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan, tasawuf, cabang-cabang kesenian dan lain-lain.
Pola penyebaran Islam di Tanah Papua, juga melalui beberapa saluran antara lain sebagai berikut:
1. Saluran Perdagangan
2. Saluran Sosial Kultural
3. Saluran Politik
4. Saluran Perkawinan
5. Saluran Pendidikan
C. Timbulnya Kerajaan-Kerajaan (Petuanan) Islam
Taufiq Abdullah menyatakan bahwa terdapat tiga konsep tentang masuknya agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang, yang dinyatakan dengan adanya bekas peninggalan Islam di kawasan yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan dengan adanya masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan tersebut.
Dari ketiga konsep di atas, di Tanah Papua pun berdiri kerajaan-kerajaan (petuanan) Islam mini yang di berikan otonomi oleh Kesultanan di Maluku. Kerajaan-kerajaan Islam mini ini terdapat di kepulauan Raja Ampat-Sorong dan Jazirah Bomberay (Fakfak dan Kaimana), yaitu:
1. Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat
Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat terbagi dalam 4 kerajaan, yaitu: (1) Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di Weweyai, Pulau Waigeo; (2) Kerajaan Salawati dengan pusatnya di Sailolof, pulau Salawatati Selatan; (3) Kerajaan Misool dengan pusatnya di Lilinta, Pulau Misool; (4) Kerajaan Batanta.
2. Kerajaan-kerajaan Islam di Wilayah Fakfak dan Kaimana
Kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat terbagi dalam 9 kerajaan, yaitu: (1) Kerajaan Namatota; (2) Kerajaan Komisi; (3) Kerajaan Fatagar; (4) Kerajaan Ati-Ati; (5) Kerajaan Rumbati; (6) Kerajaan Pattipi; (7) Kerajaan Sekar; (8) Kerajaan Wertuar; dan (9) Kerajaan Arguni.
D. Bukti-Bukti Peninggalan
1. Daerah Fakfak dan Kaimana
Di daerah Fakfak dan Kimana terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: terdapat tiga buah masjid tua, masing-masing Masjid Tunasgain di kampung Tunasgain, distrik Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di pulau Tubirseram, dan Masjid Patimburak di kampung Ptimburak. Selain bukti masjid-masjid tersebut, terdapat juga bukti lain yaitu naskah kuno, Manuskrip yang berupa mushaf al-Qur’an yang ditulis di atas kulit kayu dan masih banyak yang lainnya.
2. Daerah Raja Ampat
Di daerah Raja Ampat terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: Living Monument (masjid-masjid) dan Dead Monument (makam-makam Islam lama).
3. Kepulauan Mansinam Manokwari
Di daerah Manokwari terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya ialah: salinan manuskrip yang aslinya berbahasa Tidore kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
III. Penutup
Potret suasana keagamaan di daerah Papua Barat tersebut menarik, karena di satu sisi agama Islam telah merupakan “agama resmi” bagi kerajaan-kerajaan di kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin dan di daerah Kowiai (Kaimana). Hal ini ditandai dengan raja dan keluarganya yang telah memeluk agama Islam, serta adanya institusi resmi yang berkaitan pengaturan kehidupan masyarakat. Pengaruh Raja umumnya sangat besar dalam membantu tersebarnya Islam di daerah ini.
Diterimanya Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat Papua, maka pranata-pranat kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Keadaan ini terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama, tidak terlalu banyak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah adasebelumnya. Apa yang dibawa oleh Islam pada mulanya hanyalah urusan-urusan ‘ubudiyah (ibadah) dan tidak mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada. Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural mereka, karena sasaran utama dari pada penyebaran awal Islam hanya tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat. Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
______________. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1979.
Abidin, Ahmad Zainal. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang, 1979.
Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera, 2007.
Amrullah, H. Abdul Malik Karim. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan Al-Aidrus, Muhammad. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1997.
Herry, Nachrawy. Peranan Ternate Tidore Dalam Pembebasan Irian Barat. Ternate: Yayasan Kie Raha, 2004.
Pijper. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Rais, Amin. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Lentera, 1999.
Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Umat Islam Di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
DESKRIPSI NASKAH IHYA' ULUMUDDIN JILID 11 KOLEKSI PERPUSTAKAAN MASJID AGUNG SURAKARTA
Diposting oleh EL-FATH_NAE di 17.52
DESKRIPSI NASKAH
KOLEKSI PERPUSTAKAAN MASJID AGUNG SURAKARTA
A. PENDAHULUAN
Sebuah penelitian filologis boleh dibilang berangkat dari sebuah asumsi dasar mengenai karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage yang diduga kuat banyak mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada, yang ini yang paling penting dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Akan tetapi, sekaligus merupakan karakteristik berikutnya nilai-nilai berharga yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut, sayangnya, tertulis dalam alas naskah, semisal kertas, dluwang, daun lontar, atau bambu, dengan tinta di atasnya, yang biasanya akan rusak dimakan usia, sehingga kerusakan fisik naskah sangat mungkin terjadi.
Selain itu, jika melihat tradisi penyalinannya, hampir semua naskah yang kita jumpai bukan merupakan naskah asli yang ditulis langsung oleh pengarangnya (otograf), melainkan hasil salinan yang kadang-kadang dilakukan secara berulang-ulang. Tradisi penurunan naskah seperti inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut sebagai “varian” (teksteks salinan), yang ternyata sangat rentan terhadap terjadinya perubahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sehingga tidak jarang teks yang kita jumpai sudah tidak setia lagi, tidak otentik, dan berbeda dari teks aslinya.
Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dasar kerja filologi; oleh karenanya seorang filolog, selain bertugas untuk “membersihkan” teks dari bentuk-bentuk korup dan salah, ia juga diharapkan mampu “meluruskan” dan menelusuri otentisitas suatu teks, sehingga apa yang kemudian dibaca oleh khalayak banyak, sesuai dengan, atau paling tidak mendekati teks aslinya.
Kendati demikian, dalam perkembangannya, berbagai variasi dan atau perubahan yang terjadi akibat transmisi naskah tersebut tidak selamanya dipandang sebagai suatu bentuk kesalahan, korup, atau suatu bentuk keteledoran penyalin, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil dari subjektifitasnya sebagai manusia penyambut teks (resipien), yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Dengan cara pandang yang “lebih santun” ini, variasi dipandang secara positif, dan tujuan penelitiannya pun bergeser dari keharusan menemukan bentuk mula teks, atau yang paling dekat dengannya, menjadi kajian untuk menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi teks.
Dengan berdasar pada asumsi bahwa peneliti sudah memutuskan naskah apa yang akan dijadikan sebagai objek penelitiannya, biasanya, sebuah penelitian filologis harus melalui beberapa tahapan berikut: inventarisasi naskah, pemerian naskah, perbandingan naskah, kritik teks, terjemahan (jika perlu), dan analisis isi.
Berdasarkan uraian di atas, kami selaku peneliti akan mencoba mendeskripsikan naskah koleksi perpustakaan Masjid Agung Surakarta. Yang akan kami deskripsikan meliputi judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, ukuran naskah, ukuran teks, jumlah halaman, jumlah baris dalam satu halaman, panjang garis dalam satu halaman, jenis tulisan, bahasa, bahan naskah, cap kertas (watermark), chain lines and laid lines, jenis tinta, kuras, garis panduan, illuminasi/ilustrasi, sampul nask, jilidan naskah, penanggalan naskah (kolofon), penulis dan penyalin naskah, keadaaan naskah, sejarah naskah (termasuk cara memperolehnya), pemilik naskah, isi ringkas naskah, sumber acuan, kutipan terakhir teks, kutipan pertama teks, dan catatan lain (informasi tentang naskah/ teks sejenis di koleksi lain).
B. PEMBAHASAN
1. Judul Naskah
Tidak semua naskah klasik diberi judul oleh pengarangnya, namun kita sebagai peneliti dapat memberikan judul berdasarkan isi naskah tersebut. Pemberian judul ini harus dilakukan, karena akan mempermudah orang lain yang ingin mengkaji naskah tersebut. Akan tetapi, dalam pemberian judul diharapkan tidak terlalu rumit agar memudahkan orang lain memahaminya.
Pada deskripsi naskah ini, kami selaku peneliti akan mendeskripsikan naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال).
2. Nomor Naskah
Naskah ini adalah koleksi perpustakaan Masjid Agung Surakarta, yang memiliki nomor naskah 55.
3. Tempat penyimpanan naskah
Naskah yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki tempat penyimpanan yang bermacam-macam, di antaranya adalah di perputakaan umum, perputakaan pribadi, pondok pesantren, masjid-masjid, dan lain sebagainya.
Di antara tempat-tempat penyiimpanan naskah tersebut, naskah yang kami deskripsikan ini tersimpan di perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
4. Pengarang naskah
Pengarang naskah ini adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali.
5. Penyalin naskah
Penyalin naskah ini adalah Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X.
6. Pemilik naskah
Pemilik naskah ini adalah Keraton Surakarta yang digunakan dan dikelola oleh Lembaga pendidikan Manba’ al-‘Ulum.
7. Ukuran naskah
Ukuran pada setiap naskah tidaklah sama, setelah melakukan penelitian terhadap naskah ini, maka kami selaku peneliti menyimpulkan bahwa ukuran naskah ini adalah Panjang: 32 cm, Lebar: 21 cm, Tebal: 5 cm.
8. Ukuran teks
Ukuran teks pada setiap naskah tidaklah sama, oleh karena itu kami selaku peneliti akan memberikan penjelasan ukuran teks pada naskah ini. Ukuran teks pada naskah ini adalah Panjang: 25,5 cm, Lebar:13,5 cm.
9. Jumlah halaman
Jumlah halaman pada naskah ini adalah 560 halaman, dengan perincian: 6 halaman kosong, 2 halaman hilang yaitu halaman 16-17.
10. Jumlah baris dalam satu halaman
Jumlah baris dalam satu halaman pada naskah ini adalah baris pada halaman pertama sebanyak 9 baris, dan pada halaman kedua sampai akhir sebanyak 11 baris.
11. Panjang garis dalam satu halaman (bidang yang membingkai teks)
Pada naskah ini tidak terdapat bidang yang membingkai teks di dalam naskah.
12. Jenis tulisan (aksara)
Jenis tulisan yang digunakan dalam penulisan naskah klasik bermacam-macam, di antaranya yaitu: Arab, Melayu, Bali, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya.
Pada naskah ini menggunakan dua jenis tulisan, yaitu pada isi teks menggunakan jenis tulisan Arab (aksara Arab), dan pada penjelasan teks (sarh) menggunakan jenis tulisan Pegon (aksara Pegon).
13. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam penulisan naskah klasik bermacam-macam, di antaranya yaitu: Arab, Melayu, Bali, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya.
Pada naskah ini menggunakan dua jenis bahasa, yaitu dari hasil penelitian kami sebagai berikut, pada isi teks menggunakan bahasa Arab, dan pada penjelasan teks (sarh) menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.
14. Bahan naskah
Bahan yang dipakai dalam penulisan naskah klasik ada dua macam, yaitu di antaranya kertas dluwang dan kertas import (Eropa). Kertas dluwang lebih awet ketimbang kertas eropa (import), mudah dimakan ngengat. Karena kertas import dibuat dari bahan sintetis pakaian, manis.
Dari berbagai macam bahan naskah di atas, maka bahan naskah yang digunakan pada naskah ini adalah kertas Import (Eropa). Ini ditandai dengan kertas pada naskah ini terdapat watermark (cap kertas) dan juga sebagian kertas ini sudah dimakan ngengat.
15. Watermark (cap kertas)
Watermark (cap kertas) yang digunakan pada naskah ini berciri-ciri sebagai berikut, di tengah terdapat gambar mahkota yang dikelilingi oleh ornamen daun dan bunga yang membentuk segi lima dengan ujung bawah meruncing. Dan pada atas ornamen tedapat gambar pohon serta buahnya. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran).
16. Jenis tinta
Jenis tinta yang digunakan di dalam penulisan naskah klasik ada dua jenis, yaitu tradisional dan import. Tinta trsadisional misalnya: jelaga, bunga kaktus, bunga kesumba (merah) di madura, di lampung bunga deduruk, buah duwet, buah rendang, ketan hitam. Sedangkan tinta import misalnya: tinta China dan tinta Eropa.
Perbedaan yang signifikan antara kedua jenis tinta itu aalah daya tahan tinta tradisional lebih kuat dan tidak memakan kertas atau menghancurkan kertas, hal ini dikarenakan tinta tradisional terbuat dari bahan alami dan belum tercampur dengan bahan kimia.
Dari kedua jenis tinta di atas, pada naskah ini menggunakan jenis tinta Import, hal ini di tandai dengan tinta tulisan pada teks sudah memudar dan luntur, walau tidak merusak kertas.
17. Chain lines and laid lines
Chain lines dan laid lines pada naskah ini adalah Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, kanan: 4,5 cm, kiri: 2,5 cm.
18. Kuras
Kuras atau disebut juga batasan memiliki fungsi di antaranya untuk mengetahui cap kertas, mengetahui jumlah halaman, dan untuk mengetahui berapa halaman yang kosong atau berapa halaman yang hilang.
Setelah kami melakukan penelitian pada naskah ini, maka kami dapatkan jumlah kuras pada naskah ini adalah 28 kuras. Dengan perincian pada setiap kuras terdiri dari 10 lembar atau 20 halaman. Pada naskah ini terdapat 1 lembar atau 2 halaman yang hilang, yaitu pada lembar ke 10 atau halaman ke 16-17.
19. Garis panduan
Dalam naskah klasik tidak ada garis yang dapat digunakan untuk memandu tulisan agar rapi dan lurus seperti yang kita dapatkan pada kertas-kertas zaman sekarang. Namun pada naskah kuno terdapat garis panduan yang mereka buat sendiri, yaitu seperti pricking (ditusuk dengan alat) dan garis yang dibuat dengan tinta atau pensil.
Pada naskah ini terdapat garis panduan berupa pricking (garis yang dibuat dengan cara kertas ditusuk dengan alat), hal ini ditandai dengan bekas tusukan pada kertas yang berupa garis lurus di bawah teks.
20. Illuminasi/ilustrasi
Illuminasi adalah hiasan pada halaman depan suatu naskah. Bentuk bentuk illuminasi dipengaruhi oleh dimana teks itu ditulis. Yang harus diperhatikan dalam illuminasi adalah motif, alat, fungsi, dan makna.
Sedangkan Ilustrasi adalah hiasan dimana saja dalam suatu naskah. Ilustrasi berfungsi untuk menjelaskan teks, menghias halaman, menonjolkan halaman, dan pengisi halaman kosong.
Pada naskah ini tidak kami temukan Illuminasi maupun Ilustrasi.
21. Sampul naskah
Bahan sampul pada setiap naskah tidaklah sama. Bahan sampul ini akan memberikan informasi kapan naskah itu ditulis, oleh karena itu menurut peneliti sangatlah penting di dalam penelitian naskah menjelaskan bahan sampul naskah.
Bahan sampul naskah ini adalah kulit yang berwarna coklat tua. Dalam kondisi baik, di ujung kiri atas sedikit berjamur. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran)
22. Jilidan naskah
Pada zaman dahulu belum ada mesin percetakan, oleh karena itu pengarang-pengarang naskah pada zaman dahulu menggunakan cara tradisional untuk menjilid naskah hasil karangan mereka. Cara tradisional ini seperti dijait antara kuras satu dengan yang lainnya. Cara tradisional ini dianggap lebih kuat dari pada cara modern yang menggunakan lem kertas.
Pada naskah ini, jilidannya menggunakan cara traditional yaitu dijait pada setiap kurasnya dan dijadikan satu.
23. Penanggalan naskah (kolofon)
Kolofon atau penaggalan naskah adalah sebuah teks yang ditulis oleh pengarang naskah yang biasanya diletakkan di akhir naskah, di dalamnya berisi tentang hari dan tanggal kapan naskah itu mulai ditulis sampai kapan selesai menulisnya. Namun pada naskah ini tidak terdapat kolofon.
24. Keadaaan naskah
Sebuah naskah yang disebut dengan naskah klasik usianya lebih dari 50 tahun, oleh karena itu keadaan naskah tidak seperti awalnya naskah itu dibuat.
Kondisi naskah ini baik, bisa dibaca walaupun kertas pada naskah sudah ada yang terkena lunturan dari tinta tulisan maupun air. Dan pada sebagian teks berjamur dan lapuk dimakan ngengat.
25. Sejarah naskah (termasuk cara memperolehnya)
Naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال) ini disalin oleh Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X, yang kemudian naskah ini dipakai untuk kegiatan belajar mengajar di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum yaitu pada tahun 1858 H (1927 M), namun sekarng naskah ini sudah tidak digunakan lagi di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum karena kondisi naskah yang sudah berumur tua sehingga tidak mungkin lagi digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, dan pada saat ini menjadi koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
26. Kutipan pertama teks
كتاب دم البخل و دم حبّ المال
الحمد لله مستوجب الحمد برزقه المبسوط وكاشف الضرّ القتوط الذى خلف الخلق و وسع الرزق وافضى على العالمين أصنا و ابتلهم فيها بتقليب و ردرهم فيها بين اليسر والغنى والفقر والطمع واليأس والشرفة والبخل والجود والفرح والموجود والاسف على المفقود والإيثار والإنفاق والتوسع والإملاق والتبدير والتقتير والرضاء بالقليل واستحقار الكثير كلّ ذالك ليبلوهم أيّهم أحسن عملا وينظر أيّهم أثر الدنيا على الأخيرة بدلا وابتغير عن الأخيرة عدولا وحولا واتّخذ الدنيا دخيرة وحولا والصلاة على محمد الذى نسح وملالا وطوى بشريعته أديانا وبخلا وعلى اله وأسحابه الذين سلكوا سبيل ربهم ذلك وسلّم كثيرا. أمّا بعد
27. Isi ringkas naskah
Sesuai dengan judul naskah ini yaitu “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال), maka naskah ini membahas tentang larangan bakhil (kikir) dan juga larangan mencintai harta dengan berlebihan. Yang dimaksud mencintai harta disini adalah mencintai harta dengan maksud untuk menguasainya sendiri dan tidak sadar bahwa semua itu pemberian dari Allah. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, tidak terkecuali harta kita, karena manusia hanya dititipi oleh Allah. Dan di sebagian harta kita itu terdapat hak orang miskin.
Di naskah ini juga diterangkan keutamaan orang yang bersifat dermawan terhadap sesama, dan ancaman terhadap orang yang bakhil (kikir) beserta contoh kehidupan orang yang bakhil.
28. Kutipan terakhir teks
فقد تمّ الكتاب فى دمّ الجاه والريا والله أعلم بالصواب والخطاء أمين أمين ياربّ العالمين.
اللهماغفرلىولواليّ ولمالك صاحب هذا الكتاب ولوالديه ولأجداده ولزوجته ولأولاده لإخوانه ولأخواته المؤمنين ولأقربائه أجمعين الأحياء منهم والأموات اللهم أنفع لى ولمالكى ولمن قرأ هذا الكتاب يوم لاينفع مال ولا بنون إلاّ من أتى الله بقلب سليم بجاه نبيّنا محمد صلى الله عليه وسلّم برحمتك يا أرحم الراحمين.
C. Kesimpulan
Dari deskripsi naskah di atas, maka dapat diambil kesimpulkan sebagai berikut:
DESKRIPSI NASKAH
No PENELITIAN ISI
1 Judul Naskah Buku “Ihya’ Ulumu ad-Diin” ( احيا علوم الدين ) jilid 11(كتاب دم البخل و دم حبّ المال)
2 Nomor Naskah 55
3 Tempat Penyimpanan Naskah Perpustakaan Masjid ِِAgung Surakarta
4 Pengarang naskah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali
5 Penyalin naskah Abdi Dalem Keraton Kiai Muhammad Ali
6 Pemilik naskah Keraton Surakarta yang digunakan dan dikelola oleh Lembaga pendidikan Manba’ al-‘Ulum.
7 Ukuran Naskah Panjang: 32 cm, Lebar: 21 cm, Tebal: 5 cm
8 Ukuran Teks Panjang:25,5 cm, Lebar: 13 cm
9 Jumlah Halaman 560 halaman, dengan perincian: 6 halaman kosong, 2 halaman hilang yaitu halaman 16-17.
10 Jumlah Baris Baris pada halaman pertama: 9 baris, dan pada halaman kedua sampai akhir: 11 baris
11
Panjang garis Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, Kanan: 4.5 cm, Kiri: 2.5 cm
12 Jenis Tulisan (Aksara) Pada isi: aksara Arab, pada penjelasan teks (sarh): aksara Pegon
13 Bahasa Pada isi: bahasa Arah, pada sarh (penjelasan): bahasa Jawa Kromo Inggil
14 Bahan Naskah Kertas Eropa (kertas Import)
15 Watermark (cap kertas) berciri-ciri sebagai berikut, di tengah terdapat gambar mahkota yang dikelilingi oleh ornamen daun dan bunga yang membentuk segi lima dengan ujung bawah meruncing. Dan pada atas ornamen tedapat gambar pohon serta buahnya. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran).
16 Jenis tinta Tinta Import
17 Chainline-laid line Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, kanan: 4,5 cm, kiri: 2,5 cm.
18 Kuras 28 dan setiap kuras 10 lembar atau 20 halaman. Pada naskah ini terdapat 1 lembar atau 2 halaman yang hilang, yaitu pada lembar ke 10 atau halaman ke 16-17. Dan juga 6 halaman yang kosong.
19 Garis Panduan Garis panduannya model Picking (garis yang dibuat dengan cara kertas ditusuk dengan alat)
20 Illuminasi/ilustrasi Tidak kami temukan Illuminasi/ Ilustrasi
21 Sampul Naskah Kulit berwarna coklat tua
22 Jilidan Naskah Dijait dengan benang pada setiap kurasnya dan dijadikan satu.
23 Penanggalan naskah (kolofon) Tidak kami temukan penanggalan naskah (kolofon)
24 Keadaan Naskah Baik, bisa dibaca walaupun terdapat sedikit lunturan tinta dan lunturan air. Dan juga pada sebagian kertas sudah lapuk dimakan ngengat.
25 Sejarah Naskah Naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال) ini disalin oleh Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X, yang kemudian naskah ini dipakai untuk kegiatan belajar mengajar di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum yaitu pada tahun 1858 H (1927 M), dan pada saat ini naskah ini menjadi koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
26 Isi Ringkas Naskah
Sesuai dengan judul naskah ini yaitu “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال), maka naskah ini berisi tentang larangan bakhil (kikir) dan juga larangan mencintai harta dengan berlebihan. Yang dimaksud mencintai harta disini adalah mencintai harta dengan maksud untuk menguasainya sendiri dan tidak sadar bahwa semua itu pemberian dari Allah. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, tidak terkecuali harta kita, karena manusia hanya dititipi oleh Allah. Dan di sebagian harta kita itu terdapat hak orang miskin.
Di naskah ini juga diterangkan keutamaan orang yang bersifat dermawan terhadap sesama, dan ancaman terhadap orang yang bakhil (kikir) beserta contoh kehidupan orang yang bakhil.
27 Kutipan Pertama
كتاب دم البخل و دم حبّ المال
الحمد لله مستوجب الحمد برزقه المبسوط وكاشف الضرّ القتوط الذى خلف الخلق و وسع الرزق وافضى على العالمين أصنا و ابتلهم فيها بتقليب و ردرهم فيها بين اليسر والغنى والفقر والطمع واليأس والشرفة والبخل والجود والفرح والموجود والاسف على المفقود والإيثار والإنفاق والتوسع والإملاق والتبدير والتقتير والرضاء بالقليل واستحقار الكثير كلّ ذالك ليبلوهم أيّهم أحسن عملا وينظر أيّهم أثر الدنيا على الأخيرة بدلا وابتغير عن الأخيرة عدولا وحولا واتّخذ الدنيا دخيرة وحولا والصلاة على محمد الذى نسح وملالا وطوى بشريعته أديانا وبخلا وعلى اله وأسحابه الذين سلكوا سبيل ربهم ذلك وسلّم كثيرا.
أمّا بعد
28 Kutipan Terakhir
فقد تمّ الكتاب فى دمّ الجاه والريا والله أعلم بالصواب والخطاء أمين أمين ياربّ العالمين.
اللهماغفرلىولواليّ ولمالك صاحب هذا الكتاب ولوالديه ولأجداده ولزوجته ولأولاده لإخوانه ولأخواته المؤمنين ولأقربائه أجمعين الأحياء منهم والأموات اللهم أنفع لى ولمالكى ولمن قرأ هذا الكتاب يوم لاينفع مال ولا بنون إلاّ من أتى الله بقلب سليم بجاه نبيّنا محمد صلى الله عليه وسلّم برحمتك يا أرحم الراحمين.
KOLEKSI PERPUSTAKAAN MASJID AGUNG SURAKARTA
A. PENDAHULUAN
Sebuah penelitian filologis boleh dibilang berangkat dari sebuah asumsi dasar mengenai karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage yang diduga kuat banyak mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada, yang ini yang paling penting dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Akan tetapi, sekaligus merupakan karakteristik berikutnya nilai-nilai berharga yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut, sayangnya, tertulis dalam alas naskah, semisal kertas, dluwang, daun lontar, atau bambu, dengan tinta di atasnya, yang biasanya akan rusak dimakan usia, sehingga kerusakan fisik naskah sangat mungkin terjadi.
Selain itu, jika melihat tradisi penyalinannya, hampir semua naskah yang kita jumpai bukan merupakan naskah asli yang ditulis langsung oleh pengarangnya (otograf), melainkan hasil salinan yang kadang-kadang dilakukan secara berulang-ulang. Tradisi penurunan naskah seperti inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut sebagai “varian” (teksteks salinan), yang ternyata sangat rentan terhadap terjadinya perubahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sehingga tidak jarang teks yang kita jumpai sudah tidak setia lagi, tidak otentik, dan berbeda dari teks aslinya.
Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dasar kerja filologi; oleh karenanya seorang filolog, selain bertugas untuk “membersihkan” teks dari bentuk-bentuk korup dan salah, ia juga diharapkan mampu “meluruskan” dan menelusuri otentisitas suatu teks, sehingga apa yang kemudian dibaca oleh khalayak banyak, sesuai dengan, atau paling tidak mendekati teks aslinya.
Kendati demikian, dalam perkembangannya, berbagai variasi dan atau perubahan yang terjadi akibat transmisi naskah tersebut tidak selamanya dipandang sebagai suatu bentuk kesalahan, korup, atau suatu bentuk keteledoran penyalin, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil dari subjektifitasnya sebagai manusia penyambut teks (resipien), yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Dengan cara pandang yang “lebih santun” ini, variasi dipandang secara positif, dan tujuan penelitiannya pun bergeser dari keharusan menemukan bentuk mula teks, atau yang paling dekat dengannya, menjadi kajian untuk menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi teks.
Dengan berdasar pada asumsi bahwa peneliti sudah memutuskan naskah apa yang akan dijadikan sebagai objek penelitiannya, biasanya, sebuah penelitian filologis harus melalui beberapa tahapan berikut: inventarisasi naskah, pemerian naskah, perbandingan naskah, kritik teks, terjemahan (jika perlu), dan analisis isi.
Berdasarkan uraian di atas, kami selaku peneliti akan mencoba mendeskripsikan naskah koleksi perpustakaan Masjid Agung Surakarta. Yang akan kami deskripsikan meliputi judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, ukuran naskah, ukuran teks, jumlah halaman, jumlah baris dalam satu halaman, panjang garis dalam satu halaman, jenis tulisan, bahasa, bahan naskah, cap kertas (watermark), chain lines and laid lines, jenis tinta, kuras, garis panduan, illuminasi/ilustrasi, sampul nask, jilidan naskah, penanggalan naskah (kolofon), penulis dan penyalin naskah, keadaaan naskah, sejarah naskah (termasuk cara memperolehnya), pemilik naskah, isi ringkas naskah, sumber acuan, kutipan terakhir teks, kutipan pertama teks, dan catatan lain (informasi tentang naskah/ teks sejenis di koleksi lain).
B. PEMBAHASAN
1. Judul Naskah
Tidak semua naskah klasik diberi judul oleh pengarangnya, namun kita sebagai peneliti dapat memberikan judul berdasarkan isi naskah tersebut. Pemberian judul ini harus dilakukan, karena akan mempermudah orang lain yang ingin mengkaji naskah tersebut. Akan tetapi, dalam pemberian judul diharapkan tidak terlalu rumit agar memudahkan orang lain memahaminya.
Pada deskripsi naskah ini, kami selaku peneliti akan mendeskripsikan naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال).
2. Nomor Naskah
Naskah ini adalah koleksi perpustakaan Masjid Agung Surakarta, yang memiliki nomor naskah 55.
3. Tempat penyimpanan naskah
Naskah yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki tempat penyimpanan yang bermacam-macam, di antaranya adalah di perputakaan umum, perputakaan pribadi, pondok pesantren, masjid-masjid, dan lain sebagainya.
Di antara tempat-tempat penyiimpanan naskah tersebut, naskah yang kami deskripsikan ini tersimpan di perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
4. Pengarang naskah
Pengarang naskah ini adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali.
5. Penyalin naskah
Penyalin naskah ini adalah Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X.
6. Pemilik naskah
Pemilik naskah ini adalah Keraton Surakarta yang digunakan dan dikelola oleh Lembaga pendidikan Manba’ al-‘Ulum.
7. Ukuran naskah
Ukuran pada setiap naskah tidaklah sama, setelah melakukan penelitian terhadap naskah ini, maka kami selaku peneliti menyimpulkan bahwa ukuran naskah ini adalah Panjang: 32 cm, Lebar: 21 cm, Tebal: 5 cm.
8. Ukuran teks
Ukuran teks pada setiap naskah tidaklah sama, oleh karena itu kami selaku peneliti akan memberikan penjelasan ukuran teks pada naskah ini. Ukuran teks pada naskah ini adalah Panjang: 25,5 cm, Lebar:13,5 cm.
9. Jumlah halaman
Jumlah halaman pada naskah ini adalah 560 halaman, dengan perincian: 6 halaman kosong, 2 halaman hilang yaitu halaman 16-17.
10. Jumlah baris dalam satu halaman
Jumlah baris dalam satu halaman pada naskah ini adalah baris pada halaman pertama sebanyak 9 baris, dan pada halaman kedua sampai akhir sebanyak 11 baris.
11. Panjang garis dalam satu halaman (bidang yang membingkai teks)
Pada naskah ini tidak terdapat bidang yang membingkai teks di dalam naskah.
12. Jenis tulisan (aksara)
Jenis tulisan yang digunakan dalam penulisan naskah klasik bermacam-macam, di antaranya yaitu: Arab, Melayu, Bali, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya.
Pada naskah ini menggunakan dua jenis tulisan, yaitu pada isi teks menggunakan jenis tulisan Arab (aksara Arab), dan pada penjelasan teks (sarh) menggunakan jenis tulisan Pegon (aksara Pegon).
13. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam penulisan naskah klasik bermacam-macam, di antaranya yaitu: Arab, Melayu, Bali, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya.
Pada naskah ini menggunakan dua jenis bahasa, yaitu dari hasil penelitian kami sebagai berikut, pada isi teks menggunakan bahasa Arab, dan pada penjelasan teks (sarh) menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.
14. Bahan naskah
Bahan yang dipakai dalam penulisan naskah klasik ada dua macam, yaitu di antaranya kertas dluwang dan kertas import (Eropa). Kertas dluwang lebih awet ketimbang kertas eropa (import), mudah dimakan ngengat. Karena kertas import dibuat dari bahan sintetis pakaian, manis.
Dari berbagai macam bahan naskah di atas, maka bahan naskah yang digunakan pada naskah ini adalah kertas Import (Eropa). Ini ditandai dengan kertas pada naskah ini terdapat watermark (cap kertas) dan juga sebagian kertas ini sudah dimakan ngengat.
15. Watermark (cap kertas)
Watermark (cap kertas) yang digunakan pada naskah ini berciri-ciri sebagai berikut, di tengah terdapat gambar mahkota yang dikelilingi oleh ornamen daun dan bunga yang membentuk segi lima dengan ujung bawah meruncing. Dan pada atas ornamen tedapat gambar pohon serta buahnya. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran).
16. Jenis tinta
Jenis tinta yang digunakan di dalam penulisan naskah klasik ada dua jenis, yaitu tradisional dan import. Tinta trsadisional misalnya: jelaga, bunga kaktus, bunga kesumba (merah) di madura, di lampung bunga deduruk, buah duwet, buah rendang, ketan hitam. Sedangkan tinta import misalnya: tinta China dan tinta Eropa.
Perbedaan yang signifikan antara kedua jenis tinta itu aalah daya tahan tinta tradisional lebih kuat dan tidak memakan kertas atau menghancurkan kertas, hal ini dikarenakan tinta tradisional terbuat dari bahan alami dan belum tercampur dengan bahan kimia.
Dari kedua jenis tinta di atas, pada naskah ini menggunakan jenis tinta Import, hal ini di tandai dengan tinta tulisan pada teks sudah memudar dan luntur, walau tidak merusak kertas.
17. Chain lines and laid lines
Chain lines dan laid lines pada naskah ini adalah Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, kanan: 4,5 cm, kiri: 2,5 cm.
18. Kuras
Kuras atau disebut juga batasan memiliki fungsi di antaranya untuk mengetahui cap kertas, mengetahui jumlah halaman, dan untuk mengetahui berapa halaman yang kosong atau berapa halaman yang hilang.
Setelah kami melakukan penelitian pada naskah ini, maka kami dapatkan jumlah kuras pada naskah ini adalah 28 kuras. Dengan perincian pada setiap kuras terdiri dari 10 lembar atau 20 halaman. Pada naskah ini terdapat 1 lembar atau 2 halaman yang hilang, yaitu pada lembar ke 10 atau halaman ke 16-17.
19. Garis panduan
Dalam naskah klasik tidak ada garis yang dapat digunakan untuk memandu tulisan agar rapi dan lurus seperti yang kita dapatkan pada kertas-kertas zaman sekarang. Namun pada naskah kuno terdapat garis panduan yang mereka buat sendiri, yaitu seperti pricking (ditusuk dengan alat) dan garis yang dibuat dengan tinta atau pensil.
Pada naskah ini terdapat garis panduan berupa pricking (garis yang dibuat dengan cara kertas ditusuk dengan alat), hal ini ditandai dengan bekas tusukan pada kertas yang berupa garis lurus di bawah teks.
20. Illuminasi/ilustrasi
Illuminasi adalah hiasan pada halaman depan suatu naskah. Bentuk bentuk illuminasi dipengaruhi oleh dimana teks itu ditulis. Yang harus diperhatikan dalam illuminasi adalah motif, alat, fungsi, dan makna.
Sedangkan Ilustrasi adalah hiasan dimana saja dalam suatu naskah. Ilustrasi berfungsi untuk menjelaskan teks, menghias halaman, menonjolkan halaman, dan pengisi halaman kosong.
Pada naskah ini tidak kami temukan Illuminasi maupun Ilustrasi.
21. Sampul naskah
Bahan sampul pada setiap naskah tidaklah sama. Bahan sampul ini akan memberikan informasi kapan naskah itu ditulis, oleh karena itu menurut peneliti sangatlah penting di dalam penelitian naskah menjelaskan bahan sampul naskah.
Bahan sampul naskah ini adalah kulit yang berwarna coklat tua. Dalam kondisi baik, di ujung kiri atas sedikit berjamur. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran)
22. Jilidan naskah
Pada zaman dahulu belum ada mesin percetakan, oleh karena itu pengarang-pengarang naskah pada zaman dahulu menggunakan cara tradisional untuk menjilid naskah hasil karangan mereka. Cara tradisional ini seperti dijait antara kuras satu dengan yang lainnya. Cara tradisional ini dianggap lebih kuat dari pada cara modern yang menggunakan lem kertas.
Pada naskah ini, jilidannya menggunakan cara traditional yaitu dijait pada setiap kurasnya dan dijadikan satu.
23. Penanggalan naskah (kolofon)
Kolofon atau penaggalan naskah adalah sebuah teks yang ditulis oleh pengarang naskah yang biasanya diletakkan di akhir naskah, di dalamnya berisi tentang hari dan tanggal kapan naskah itu mulai ditulis sampai kapan selesai menulisnya. Namun pada naskah ini tidak terdapat kolofon.
24. Keadaaan naskah
Sebuah naskah yang disebut dengan naskah klasik usianya lebih dari 50 tahun, oleh karena itu keadaan naskah tidak seperti awalnya naskah itu dibuat.
Kondisi naskah ini baik, bisa dibaca walaupun kertas pada naskah sudah ada yang terkena lunturan dari tinta tulisan maupun air. Dan pada sebagian teks berjamur dan lapuk dimakan ngengat.
25. Sejarah naskah (termasuk cara memperolehnya)
Naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال) ini disalin oleh Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X, yang kemudian naskah ini dipakai untuk kegiatan belajar mengajar di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum yaitu pada tahun 1858 H (1927 M), namun sekarng naskah ini sudah tidak digunakan lagi di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum karena kondisi naskah yang sudah berumur tua sehingga tidak mungkin lagi digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, dan pada saat ini menjadi koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
26. Kutipan pertama teks
كتاب دم البخل و دم حبّ المال
الحمد لله مستوجب الحمد برزقه المبسوط وكاشف الضرّ القتوط الذى خلف الخلق و وسع الرزق وافضى على العالمين أصنا و ابتلهم فيها بتقليب و ردرهم فيها بين اليسر والغنى والفقر والطمع واليأس والشرفة والبخل والجود والفرح والموجود والاسف على المفقود والإيثار والإنفاق والتوسع والإملاق والتبدير والتقتير والرضاء بالقليل واستحقار الكثير كلّ ذالك ليبلوهم أيّهم أحسن عملا وينظر أيّهم أثر الدنيا على الأخيرة بدلا وابتغير عن الأخيرة عدولا وحولا واتّخذ الدنيا دخيرة وحولا والصلاة على محمد الذى نسح وملالا وطوى بشريعته أديانا وبخلا وعلى اله وأسحابه الذين سلكوا سبيل ربهم ذلك وسلّم كثيرا. أمّا بعد
27. Isi ringkas naskah
Sesuai dengan judul naskah ini yaitu “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال), maka naskah ini membahas tentang larangan bakhil (kikir) dan juga larangan mencintai harta dengan berlebihan. Yang dimaksud mencintai harta disini adalah mencintai harta dengan maksud untuk menguasainya sendiri dan tidak sadar bahwa semua itu pemberian dari Allah. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, tidak terkecuali harta kita, karena manusia hanya dititipi oleh Allah. Dan di sebagian harta kita itu terdapat hak orang miskin.
Di naskah ini juga diterangkan keutamaan orang yang bersifat dermawan terhadap sesama, dan ancaman terhadap orang yang bakhil (kikir) beserta contoh kehidupan orang yang bakhil.
28. Kutipan terakhir teks
فقد تمّ الكتاب فى دمّ الجاه والريا والله أعلم بالصواب والخطاء أمين أمين ياربّ العالمين.
اللهماغفرلىولواليّ ولمالك صاحب هذا الكتاب ولوالديه ولأجداده ولزوجته ولأولاده لإخوانه ولأخواته المؤمنين ولأقربائه أجمعين الأحياء منهم والأموات اللهم أنفع لى ولمالكى ولمن قرأ هذا الكتاب يوم لاينفع مال ولا بنون إلاّ من أتى الله بقلب سليم بجاه نبيّنا محمد صلى الله عليه وسلّم برحمتك يا أرحم الراحمين.
C. Kesimpulan
Dari deskripsi naskah di atas, maka dapat diambil kesimpulkan sebagai berikut:
DESKRIPSI NASKAH
No PENELITIAN ISI
1 Judul Naskah Buku “Ihya’ Ulumu ad-Diin” ( احيا علوم الدين ) jilid 11(كتاب دم البخل و دم حبّ المال)
2 Nomor Naskah 55
3 Tempat Penyimpanan Naskah Perpustakaan Masjid ِِAgung Surakarta
4 Pengarang naskah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali
5 Penyalin naskah Abdi Dalem Keraton Kiai Muhammad Ali
6 Pemilik naskah Keraton Surakarta yang digunakan dan dikelola oleh Lembaga pendidikan Manba’ al-‘Ulum.
7 Ukuran Naskah Panjang: 32 cm, Lebar: 21 cm, Tebal: 5 cm
8 Ukuran Teks Panjang:25,5 cm, Lebar: 13 cm
9 Jumlah Halaman 560 halaman, dengan perincian: 6 halaman kosong, 2 halaman hilang yaitu halaman 16-17.
10 Jumlah Baris Baris pada halaman pertama: 9 baris, dan pada halaman kedua sampai akhir: 11 baris
11
Panjang garis Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, Kanan: 4.5 cm, Kiri: 2.5 cm
12 Jenis Tulisan (Aksara) Pada isi: aksara Arab, pada penjelasan teks (sarh): aksara Pegon
13 Bahasa Pada isi: bahasa Arah, pada sarh (penjelasan): bahasa Jawa Kromo Inggil
14 Bahan Naskah Kertas Eropa (kertas Import)
15 Watermark (cap kertas) berciri-ciri sebagai berikut, di tengah terdapat gambar mahkota yang dikelilingi oleh ornamen daun dan bunga yang membentuk segi lima dengan ujung bawah meruncing. Dan pada atas ornamen tedapat gambar pohon serta buahnya. (lebih jelas lihat gambar pada lampiran).
16 Jenis tinta Tinta Import
17 Chainline-laid line Atas: 3,5 cm, Bawah: 3 cm, kanan: 4,5 cm, kiri: 2,5 cm.
18 Kuras 28 dan setiap kuras 10 lembar atau 20 halaman. Pada naskah ini terdapat 1 lembar atau 2 halaman yang hilang, yaitu pada lembar ke 10 atau halaman ke 16-17. Dan juga 6 halaman yang kosong.
19 Garis Panduan Garis panduannya model Picking (garis yang dibuat dengan cara kertas ditusuk dengan alat)
20 Illuminasi/ilustrasi Tidak kami temukan Illuminasi/ Ilustrasi
21 Sampul Naskah Kulit berwarna coklat tua
22 Jilidan Naskah Dijait dengan benang pada setiap kurasnya dan dijadikan satu.
23 Penanggalan naskah (kolofon) Tidak kami temukan penanggalan naskah (kolofon)
24 Keadaan Naskah Baik, bisa dibaca walaupun terdapat sedikit lunturan tinta dan lunturan air. Dan juga pada sebagian kertas sudah lapuk dimakan ngengat.
25 Sejarah Naskah Naskah yang berjudul “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال) ini disalin oleh Abdi Dalem Kiai Muhammad Ali atas perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke-X, yang kemudian naskah ini dipakai untuk kegiatan belajar mengajar di Lembaga Pendidikan Manba’ al-‘Ulum yaitu pada tahun 1858 H (1927 M), dan pada saat ini naskah ini menjadi koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta.
26 Isi Ringkas Naskah
Sesuai dengan judul naskah ini yaitu “Ihya ‘Ulumu ad-Diin” (احيا علوم الدين) jilid 11 (كتاب دم البخل و دم حبّ المال), maka naskah ini berisi tentang larangan bakhil (kikir) dan juga larangan mencintai harta dengan berlebihan. Yang dimaksud mencintai harta disini adalah mencintai harta dengan maksud untuk menguasainya sendiri dan tidak sadar bahwa semua itu pemberian dari Allah. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, tidak terkecuali harta kita, karena manusia hanya dititipi oleh Allah. Dan di sebagian harta kita itu terdapat hak orang miskin.
Di naskah ini juga diterangkan keutamaan orang yang bersifat dermawan terhadap sesama, dan ancaman terhadap orang yang bakhil (kikir) beserta contoh kehidupan orang yang bakhil.
27 Kutipan Pertama
كتاب دم البخل و دم حبّ المال
الحمد لله مستوجب الحمد برزقه المبسوط وكاشف الضرّ القتوط الذى خلف الخلق و وسع الرزق وافضى على العالمين أصنا و ابتلهم فيها بتقليب و ردرهم فيها بين اليسر والغنى والفقر والطمع واليأس والشرفة والبخل والجود والفرح والموجود والاسف على المفقود والإيثار والإنفاق والتوسع والإملاق والتبدير والتقتير والرضاء بالقليل واستحقار الكثير كلّ ذالك ليبلوهم أيّهم أحسن عملا وينظر أيّهم أثر الدنيا على الأخيرة بدلا وابتغير عن الأخيرة عدولا وحولا واتّخذ الدنيا دخيرة وحولا والصلاة على محمد الذى نسح وملالا وطوى بشريعته أديانا وبخلا وعلى اله وأسحابه الذين سلكوا سبيل ربهم ذلك وسلّم كثيرا.
أمّا بعد
28 Kutipan Terakhir
فقد تمّ الكتاب فى دمّ الجاه والريا والله أعلم بالصواب والخطاء أمين أمين ياربّ العالمين.
اللهماغفرلىولواليّ ولمالك صاحب هذا الكتاب ولوالديه ولأجداده ولزوجته ولأولاده لإخوانه ولأخواته المؤمنين ولأقربائه أجمعين الأحياء منهم والأموات اللهم أنفع لى ولمالكى ولمن قرأ هذا الكتاب يوم لاينفع مال ولا بنون إلاّ من أتى الله بقلب سليم بجاه نبيّنا محمد صلى الله عليه وسلّم برحمتك يا أرحم الراحمين.
Kaum Pria Yang Menyerupai Kaum Wanita dan Sebaliknya (Studi memahami hadits Nabi saw)
Diposting oleh EL-FATH_NAE di 17.41
I. PENDAHULUAN
Belakangan ini, telah terjadi kerancuan timbangan antara pria dan wanita. Kaum pria menyerupai wanita, dan sebaliknya, kaum wanita menyerupai kaum pria. Banyak kita dapati di sekitar kita kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan juga sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria. Contohnya kaum pria memakai pakaian wanita, kaum wanita memakai pakaian kaum pria, kaum pria yang memakai anting-anting, bahkan kaum pria yang mengikuti gaya jalan, gaya bicara dan juga berpenampilan layaknya seorang wanita. Hal ini telah menyalahi qodrat yang telah diberikan Allah swt kepada kita semua. Di sini kami melakukan studi memahami hadits Nabi dari segi matan hadits dengan menggunakan berbagai pendekatan-pendekatan yang ada. Dan juga mengulas syarah hadits tersebut menurut pendapat para ulama.
II. PEMBAHASAN
A. MATAN HADITS
1) Diriwayatkan oleh Bukhari:
الحديث الأول :
حدثنا معاذ بن فضالة, حدثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس قال : لَعَنَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً .
Artinya:
“Mu’ad bin Fadholah menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi saw. melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan” .
2) Diriwayatkan oleh Abu Dawud:
الحديث الثاني :
حدثنا مسلم بن إبراهيم, ثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس : أَنَّ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم لَعَنَ المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَقَالَ وَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ وَ أَخْرِجُوْا فُلاَنًا وَ فُلاَنًا يَعْنِي المُُخَنَّثِيْنَ .
Artinya:
Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw. melaknat melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: Dan keluarkan ,mereka dari rumah kalian dan keluarkan si fulan, dan si fulan adalah al-mukhannatsin.
3) Diriwayatkan oleh Tirmidzi:
الحديث الثالث :
حدثنا الحسن بن علي الخلاّّل, أخبرنا عبد الرزاق, أخبرنا معمر عن يحي بن أبي كثير و أيوب عن عكرمة عن إبن عباس قال : لَعََنَ رَسُولُ الله صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ .
Artinya:
Al-khasan bin Ali al-Khalaal menceritakan kepada kami, Al-Hasan ibn ‘Ali al-Khallal, dikabarkan pada kami, ‘Abdurrazaq, dikabarkan pada kami, Ma’mar, dari Yahya ibn Abi Katsir dan Ayub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw. melaknat melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian.
B. PENGERTIAN
Al-Mukhannats adalah seorang pria yang menyerupai seorang wanita. Al-Mutarajjilaat adalah seorang wanita yang menyerupai seorang pria. Menyerupai disini berarti dengan sengaja (kaum pria atau kaum wanita) meniru dalam segi pakaian, gaya berjalan, bertingkah laku dan berbicara.
C. ANALISIS TEKS AL-QUR’AN
Manusia yang lahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya sebagai pria dan wanita. Karena Allah swt telah menciptakan manusia berjenis kelamin pria dan wanita. Dan tidak ada yang bisa merubah qodrat masing-masing ataupun saling menyerupai antara keduanya. Allah swt menciptakan pria dan wanita dengan segala perbedaan serta kekurangan dan kelebihan antara keduanya. Tidak diperkenankan oleh hukum Islam merubah qodrat Allah swt.
Dalil-dalil syar’I yang mengharamkan merubah qadrat yang Allah swt berikan kepada kita, antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an Surat Al-Hujarat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini mengajarkan prinsip Equality before God and Law artinya manusia di hadapan Allah swt dan hukum itu sama kedudukannya. Dan yang menyebabkan tinggi rendahnya kedudukan manusia itu bukanlah karena perbedaan jenis kelamin, ras, bahasa, kekayaan, kedudukan, dan sebagainya, melainkan karena ketakwaannya kepada Allah swt. Karena itu, jenis kelamin yang normal yang diberikan kepada seseorang, harus disyukuri dengan jalan menerima qodratnya dan menjalankan semua kewajibannya sebagai makhluk terhadap khaliknya sesuai dengan qodratnya tanpa mengubahnya atau menyerupai antara satu dengan yang lainnya.
2. Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat 119:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Artinya: dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya". Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
Di dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin, Al-Baidhawi, Zubdatut Tafsir, dan Shafwatul Bayan disebut beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Allah swt”, seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur (memotong giginya), membuat tato, mencukur bulu muka (alis), dan takhannuts, artinya orang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita atau sebaliknya.
3. Al-Qur’an Surat Al-Mujadilah ayat 22:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”.
Bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.
D. ANALISIS WACANA
1. Asbab wurud al-Hadits
Hadits Nabi riwayat Bukhari dan lima ahli hadits lainnya dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah laku kewanita-wanitaan dan sebaliknya kaum wanita yang bertingkah laku kelaki-lakian.
حدثنا معاذ بن فضالة, حدثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس قال : لَعَنَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً .
Artinya:
“Mu’ad bin Fadholah menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi saw. melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan” .
Dari hadits di atas, Nabi saw selain melaknat kaum pria yang bertingkah laku kewanita-wanitaan dan sebaliknya kaum wanita yang bertingkah laku kelaki-lakian, juga Nabi saw pernah memerintahkan agar mereka diasingkan ke tempat pembuangan, mengusirnya dari rumah bahkan kampung halamannya demi memelihara akhlak. Tujuan penekanan disini adalah agar penyakit orang yang demikian itu tidak menular kepada sanak saudaranya dan juga para tetangganya.
Dan dikisahkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi saw pernah mengusir si fulan, dan sifulan ini adalah seorang yang Mukhannats , yaitu seorang budak lelaki bernama Anjasyah, dia adalah pemandu khafilah Nabi saw. Kemudian diikuti oleh Khalifah ‘Umar yang juga mengusir si fulan yang bernama Maati’. Menurut riwayat yang lain menyebutkan bahwa Khalifah ‘Umar pernah mengusir si fulan dan si fulan, menurut sebagian ahli hadits mereka adalah bernama Bu’aits dan Maati’.
2. Perspektif Islam
Sesungguhnya diciptakannya pria dan wanita dari kekuasaan Allah swt beserta qodratnya masing-masing. Dan Allah swt. telah menentukan qodrat sebagai seorang pria dan qodrat sebagai seorang wanita yang tidak dapat kita rubah dengan sendirinya. pria dan wanita diciptakan dengan beserta kekurangan dan kelebihannya yang menjadikan perbedaan antara pria dan wanita. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak dibuat untuk menimbulkan perselisihan, akan tetapi Allah swt. Mengikat diantara pria dan wanita dengan sebuah ikatan yang suci yaitu “pernikahan”. Seperti yang terkandung dalam Surat ar-Room ayat 21:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Namun pada zaman modern ini, banyak kita jumpai kerancuan timbangan antara pria dan wanita. Banyak kita dapati di sekitar kita kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan juga sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria. Contohnya kaum pria memakai pakaian wanita, kaum wanita memakai pakaian kaum pria, kaum pria yang memakai anting-anting, bahkan kaum pria yang mengikuti gaya jalan , gaya bicara dan juga berpenampilan layaknya seorang wanita. Hal ini telah menyalahi qodrat yang telah diberikan Allah swt kepada kita semua.
Allah swt. telah membagi kewajiban-kewajiban antara kaum pria dan kaum wanita dengan adil. Kaum pria berkewajiban menjadi seorang khalifah di dunia ini dan juga membangun dan memeliharanya. Dan juga kaum wanita yang telah diberikan kewajiban sesuai dengan qodratnya sebagai seorng wanita.
E. ANALISIS BAHASA
Ketiga hadits di atas memiliki makna yang sama, yang masing-masing diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi, akan tetapi dari ketiga hadits di atas terdapat perbedaan lafadz matan. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz matan adalah karena adanya ziyadah (tambahan) yaitu pada riwayat Bukhari dan riwayat Abu Dawud terdapat ziyadah وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً dan pada riwayat Abu Dawud terdapat pula ziyadah وَ فُلاَنًا يَعْنِي المُُخَنَّثِيْنَ sedangkan pada riwayat Tirmidzi tidak terdapat ziyadah tersebut. Adanya tambahan kata-kata tersebut harus dilihat dari kepentingan upaya mencari petunjuk tentang dapat atau tidaknya tambahan tersebut dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah saw.
Menurut saya ziyadah ini bersifat penjelasan bahwa Rasulullah saw benar-benar melaknat al-Mukhannats dengan mengeluarkannya dari rumah mereka dan Rasulullah saw pernah mengusir si fulan dari rumah mereka yang kemudian diikuti oleh ‘Umar. Dan pada riwayat Abu Dawud tambahannya bersifat penjelas dari “si fulan”, yaitu seorang Mukhannats.
F. SYARAH HADITS
Al-Mukhannats, berasal dari kata Al-Inkhinaats, artinya berlenggang lenggok dan bergaya seperti wanita. Dikatakan demikian karena pria yang bersangkutan dalam segala halnya meniru-niru seorang wanita, dalam pakaiannya, atau cara jalannya, atau dalam cara bicaranya dengan secara disengaja. Adapun mengenai pria yang berpenampilan demikian secara alami atau menurut pembawaannya, maka tidak mengapa, tetapi ia harus melatih dirinya untuk meninggalkan kebiasaan yang tak layak itu.
Al-Mutarajjilah, berasal dari kata Ar-Rajilah, artinya wanita yang meniru-niru perbuatan pria dalam segala hal.
Nabi saw. pernah mengusir si Fulan, yang dimaksud ialah Anjasyah seorang budak hitam yang sikapnya meniru-niru wanita. Dan Khalifah Umar r.a. pernah mengusir si Anu, yang dimaksud ialah Mati’ atau lainnya. Hal itu dilakukan oleh Nabi saw. dan Khalifah Umar r.a. agar akhlak orang-orang tidak rusak seperti dia.
Tidak boleh melakukan penyerupaan dan tidak boleh pula meniru-niru rupa orang lain, karena hal tersebut berarti menyimpang dari apa yang telah diciptakan oleh Allah swt.
Penyerupaan pria terhadap wanita dalam cara jalan, cara bicara, atau cara berpakaiannya, dan lain sebagainya yang menjadi cirri khas wanita. Begitu pula penyerupaan wanita terhadap pria dalam hal yang sama. Perbuatan tersebut hukumnya haram,berdasarkan hadits ini.
G. Hukum kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan sebaliknya
Seperti halnya yang telah di sampaikan Nabi Muhammad saw. didalam Hadits bahwa barangsiapa yang mengerjakan perbuatan itu, yaitu kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria, dihalalkan baginya untuk diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah swt. sampai ia benar-benar bertaubat dan kembali kejalan yang benar. Dan dari beberapa hadits-hadits shahih diatas terkandung petunjuk bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas. Hasjim. Kritik Matan Hadits (Versi Muhaddisin dan Fuqaha). Yogyakarta: Teras. 2004
Ali. Nizar. Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: YPI al-Rahmah. 2001
Al-Asqalani. Ibnu Hajar. Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari. Beirut: Darul Fikr. juz I. 1996
Ali Nashif. Syekh Manshur. At-Taajul Jaami’ lil Ushuul fi Ahadits Rasul (Mahkota pokok-pokok hadits). Bandung: Siar baru algensindo. 1994. jilid 3
As-Syarif. Muhammad. Shilahu al-Ummah ‘ala Haday al-Sanah. Al-Azhar: Daru as-Shohwah li Natsri. t.th
Ismail. M. Syuyudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. cet. I. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
_________________. Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Cet. I. Jakarta: PT. Bintang. 1994
Muhammad. Abi Abdillah Bin Isma’il. Shahih al-Bukhari. juz 3. Bairut: Darul Kutub Alamiyah. 1996
Surah at-Timidzi. Muhammad bin Isa bin. Abu Isa. Sunan at-Turmudzi. juz 4. Semarang: Toha Putra. t.th
Zuhri. Muhammad. Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 2003
Belakangan ini, telah terjadi kerancuan timbangan antara pria dan wanita. Kaum pria menyerupai wanita, dan sebaliknya, kaum wanita menyerupai kaum pria. Banyak kita dapati di sekitar kita kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan juga sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria. Contohnya kaum pria memakai pakaian wanita, kaum wanita memakai pakaian kaum pria, kaum pria yang memakai anting-anting, bahkan kaum pria yang mengikuti gaya jalan, gaya bicara dan juga berpenampilan layaknya seorang wanita. Hal ini telah menyalahi qodrat yang telah diberikan Allah swt kepada kita semua. Di sini kami melakukan studi memahami hadits Nabi dari segi matan hadits dengan menggunakan berbagai pendekatan-pendekatan yang ada. Dan juga mengulas syarah hadits tersebut menurut pendapat para ulama.
II. PEMBAHASAN
A. MATAN HADITS
1) Diriwayatkan oleh Bukhari:
الحديث الأول :
حدثنا معاذ بن فضالة, حدثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس قال : لَعَنَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً .
Artinya:
“Mu’ad bin Fadholah menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi saw. melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan” .
2) Diriwayatkan oleh Abu Dawud:
الحديث الثاني :
حدثنا مسلم بن إبراهيم, ثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس : أَنَّ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم لَعَنَ المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَقَالَ وَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ وَ أَخْرِجُوْا فُلاَنًا وَ فُلاَنًا يَعْنِي المُُخَنَّثِيْنَ .
Artinya:
Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw. melaknat melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: Dan keluarkan ,mereka dari rumah kalian dan keluarkan si fulan, dan si fulan adalah al-mukhannatsin.
3) Diriwayatkan oleh Tirmidzi:
الحديث الثالث :
حدثنا الحسن بن علي الخلاّّل, أخبرنا عبد الرزاق, أخبرنا معمر عن يحي بن أبي كثير و أيوب عن عكرمة عن إبن عباس قال : لَعََنَ رَسُولُ الله صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ .
Artinya:
Al-khasan bin Ali al-Khalaal menceritakan kepada kami, Al-Hasan ibn ‘Ali al-Khallal, dikabarkan pada kami, ‘Abdurrazaq, dikabarkan pada kami, Ma’mar, dari Yahya ibn Abi Katsir dan Ayub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw. melaknat melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian.
B. PENGERTIAN
Al-Mukhannats adalah seorang pria yang menyerupai seorang wanita. Al-Mutarajjilaat adalah seorang wanita yang menyerupai seorang pria. Menyerupai disini berarti dengan sengaja (kaum pria atau kaum wanita) meniru dalam segi pakaian, gaya berjalan, bertingkah laku dan berbicara.
C. ANALISIS TEKS AL-QUR’AN
Manusia yang lahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya sebagai pria dan wanita. Karena Allah swt telah menciptakan manusia berjenis kelamin pria dan wanita. Dan tidak ada yang bisa merubah qodrat masing-masing ataupun saling menyerupai antara keduanya. Allah swt menciptakan pria dan wanita dengan segala perbedaan serta kekurangan dan kelebihan antara keduanya. Tidak diperkenankan oleh hukum Islam merubah qodrat Allah swt.
Dalil-dalil syar’I yang mengharamkan merubah qadrat yang Allah swt berikan kepada kita, antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an Surat Al-Hujarat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini mengajarkan prinsip Equality before God and Law artinya manusia di hadapan Allah swt dan hukum itu sama kedudukannya. Dan yang menyebabkan tinggi rendahnya kedudukan manusia itu bukanlah karena perbedaan jenis kelamin, ras, bahasa, kekayaan, kedudukan, dan sebagainya, melainkan karena ketakwaannya kepada Allah swt. Karena itu, jenis kelamin yang normal yang diberikan kepada seseorang, harus disyukuri dengan jalan menerima qodratnya dan menjalankan semua kewajibannya sebagai makhluk terhadap khaliknya sesuai dengan qodratnya tanpa mengubahnya atau menyerupai antara satu dengan yang lainnya.
2. Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat 119:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Artinya: dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya". Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
Di dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin, Al-Baidhawi, Zubdatut Tafsir, dan Shafwatul Bayan disebut beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Allah swt”, seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur (memotong giginya), membuat tato, mencukur bulu muka (alis), dan takhannuts, artinya orang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita atau sebaliknya.
3. Al-Qur’an Surat Al-Mujadilah ayat 22:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”.
Bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.
D. ANALISIS WACANA
1. Asbab wurud al-Hadits
Hadits Nabi riwayat Bukhari dan lima ahli hadits lainnya dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah laku kewanita-wanitaan dan sebaliknya kaum wanita yang bertingkah laku kelaki-lakian.
حدثنا معاذ بن فضالة, حدثنا هشام, عن يحي, عن عكرمة, عن ابن عباس قال : لَعَنَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم المُخَنَّّثِيْنَ مِنَ الرِجَالِ وَ المُتَرَجِلاَتِ مِنَ النِسَاءِ وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً .
Artinya:
“Mu’ad bin Fadholah menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Ikrimata, dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi saw. melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan Beliau berkata: keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan” .
Dari hadits di atas, Nabi saw selain melaknat kaum pria yang bertingkah laku kewanita-wanitaan dan sebaliknya kaum wanita yang bertingkah laku kelaki-lakian, juga Nabi saw pernah memerintahkan agar mereka diasingkan ke tempat pembuangan, mengusirnya dari rumah bahkan kampung halamannya demi memelihara akhlak. Tujuan penekanan disini adalah agar penyakit orang yang demikian itu tidak menular kepada sanak saudaranya dan juga para tetangganya.
Dan dikisahkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi saw pernah mengusir si fulan, dan sifulan ini adalah seorang yang Mukhannats , yaitu seorang budak lelaki bernama Anjasyah, dia adalah pemandu khafilah Nabi saw. Kemudian diikuti oleh Khalifah ‘Umar yang juga mengusir si fulan yang bernama Maati’. Menurut riwayat yang lain menyebutkan bahwa Khalifah ‘Umar pernah mengusir si fulan dan si fulan, menurut sebagian ahli hadits mereka adalah bernama Bu’aits dan Maati’.
2. Perspektif Islam
Sesungguhnya diciptakannya pria dan wanita dari kekuasaan Allah swt beserta qodratnya masing-masing. Dan Allah swt. telah menentukan qodrat sebagai seorang pria dan qodrat sebagai seorang wanita yang tidak dapat kita rubah dengan sendirinya. pria dan wanita diciptakan dengan beserta kekurangan dan kelebihannya yang menjadikan perbedaan antara pria dan wanita. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak dibuat untuk menimbulkan perselisihan, akan tetapi Allah swt. Mengikat diantara pria dan wanita dengan sebuah ikatan yang suci yaitu “pernikahan”. Seperti yang terkandung dalam Surat ar-Room ayat 21:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Namun pada zaman modern ini, banyak kita jumpai kerancuan timbangan antara pria dan wanita. Banyak kita dapati di sekitar kita kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan juga sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria. Contohnya kaum pria memakai pakaian wanita, kaum wanita memakai pakaian kaum pria, kaum pria yang memakai anting-anting, bahkan kaum pria yang mengikuti gaya jalan , gaya bicara dan juga berpenampilan layaknya seorang wanita. Hal ini telah menyalahi qodrat yang telah diberikan Allah swt kepada kita semua.
Allah swt. telah membagi kewajiban-kewajiban antara kaum pria dan kaum wanita dengan adil. Kaum pria berkewajiban menjadi seorang khalifah di dunia ini dan juga membangun dan memeliharanya. Dan juga kaum wanita yang telah diberikan kewajiban sesuai dengan qodratnya sebagai seorng wanita.
E. ANALISIS BAHASA
Ketiga hadits di atas memiliki makna yang sama, yang masing-masing diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi, akan tetapi dari ketiga hadits di atas terdapat perbedaan lafadz matan. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz matan adalah karena adanya ziyadah (tambahan) yaitu pada riwayat Bukhari dan riwayat Abu Dawud terdapat ziyadah وَ قاََلَ أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ قََالََ : فَأَخْرَجَ النَبِيُّ صلي الله عليه وسلم فُلاََناً وَ أَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَناً dan pada riwayat Abu Dawud terdapat pula ziyadah وَ فُلاَنًا يَعْنِي المُُخَنَّثِيْنَ sedangkan pada riwayat Tirmidzi tidak terdapat ziyadah tersebut. Adanya tambahan kata-kata tersebut harus dilihat dari kepentingan upaya mencari petunjuk tentang dapat atau tidaknya tambahan tersebut dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah saw.
Menurut saya ziyadah ini bersifat penjelasan bahwa Rasulullah saw benar-benar melaknat al-Mukhannats dengan mengeluarkannya dari rumah mereka dan Rasulullah saw pernah mengusir si fulan dari rumah mereka yang kemudian diikuti oleh ‘Umar. Dan pada riwayat Abu Dawud tambahannya bersifat penjelas dari “si fulan”, yaitu seorang Mukhannats.
F. SYARAH HADITS
Al-Mukhannats, berasal dari kata Al-Inkhinaats, artinya berlenggang lenggok dan bergaya seperti wanita. Dikatakan demikian karena pria yang bersangkutan dalam segala halnya meniru-niru seorang wanita, dalam pakaiannya, atau cara jalannya, atau dalam cara bicaranya dengan secara disengaja. Adapun mengenai pria yang berpenampilan demikian secara alami atau menurut pembawaannya, maka tidak mengapa, tetapi ia harus melatih dirinya untuk meninggalkan kebiasaan yang tak layak itu.
Al-Mutarajjilah, berasal dari kata Ar-Rajilah, artinya wanita yang meniru-niru perbuatan pria dalam segala hal.
Nabi saw. pernah mengusir si Fulan, yang dimaksud ialah Anjasyah seorang budak hitam yang sikapnya meniru-niru wanita. Dan Khalifah Umar r.a. pernah mengusir si Anu, yang dimaksud ialah Mati’ atau lainnya. Hal itu dilakukan oleh Nabi saw. dan Khalifah Umar r.a. agar akhlak orang-orang tidak rusak seperti dia.
Tidak boleh melakukan penyerupaan dan tidak boleh pula meniru-niru rupa orang lain, karena hal tersebut berarti menyimpang dari apa yang telah diciptakan oleh Allah swt.
Penyerupaan pria terhadap wanita dalam cara jalan, cara bicara, atau cara berpakaiannya, dan lain sebagainya yang menjadi cirri khas wanita. Begitu pula penyerupaan wanita terhadap pria dalam hal yang sama. Perbuatan tersebut hukumnya haram,berdasarkan hadits ini.
G. Hukum kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan sebaliknya
Seperti halnya yang telah di sampaikan Nabi Muhammad saw. didalam Hadits bahwa barangsiapa yang mengerjakan perbuatan itu, yaitu kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan sebaliknya kaum wanita yang menyerupai kaum pria, dihalalkan baginya untuk diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah swt. sampai ia benar-benar bertaubat dan kembali kejalan yang benar. Dan dari beberapa hadits-hadits shahih diatas terkandung petunjuk bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas. Hasjim. Kritik Matan Hadits (Versi Muhaddisin dan Fuqaha). Yogyakarta: Teras. 2004
Ali. Nizar. Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: YPI al-Rahmah. 2001
Al-Asqalani. Ibnu Hajar. Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari. Beirut: Darul Fikr. juz I. 1996
Ali Nashif. Syekh Manshur. At-Taajul Jaami’ lil Ushuul fi Ahadits Rasul (Mahkota pokok-pokok hadits). Bandung: Siar baru algensindo. 1994. jilid 3
As-Syarif. Muhammad. Shilahu al-Ummah ‘ala Haday al-Sanah. Al-Azhar: Daru as-Shohwah li Natsri. t.th
Ismail. M. Syuyudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. cet. I. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
_________________. Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Cet. I. Jakarta: PT. Bintang. 1994
Muhammad. Abi Abdillah Bin Isma’il. Shahih al-Bukhari. juz 3. Bairut: Darul Kutub Alamiyah. 1996
Surah at-Timidzi. Muhammad bin Isa bin. Abu Isa. Sunan at-Turmudzi. juz 4. Semarang: Toha Putra. t.th
Zuhri. Muhammad. Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 2003
Langganan:
Postingan (Atom)