I. Pendahuluan
Periode pertengahan dalam sejarah Islam dimulai sejak pasca keruntuhan Bani Abbasiyah, yaitu sekitar tahun 1254 M. Ciri yang paling populer pada periode ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat madrasah, berbeda dengan masa klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu tidak aneh bila kemunculan setiap karya, khususnya Ulum al-hadits, didasarkan pada keperluan pembelajaran.
Pada periode pertengahan yang menjadi muara penyusunan dan pemikiran Ulum al-hadits setelah Ibnu Shalah adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dilihat dari segi penyusunannya, karya Ibnu Hajar dianggap sebagai karya yang paling sistematis dan komprehensif. Dan tokoh-tokoh yang ada setelah Ibnu Hajar banyak yang mengikuti hal yang telah dilakukannya.
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama besar Islam dan ia juga seorang hakim agung (Qadhi Qudhat). Beliau mengarang kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al- Bukhari dengan menerangkan hadits-haditsnya, menjawab problem yang berkaitan dengan sanad dan perawi hadits, serta menerangkan perawi dan derajatnya. Beliau adalah penganut madzhab Syafi’I, oleh karna itu ada ulama yang menganggap bahwa beliau cenderung pada madzhab Syafi’I dalam mensyarah hadits-hadits Bukhari dalam kitab “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari”
Dalam makalah ini akan membahas tentang Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani dan kitab karyanya “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari” yaitu meliputi biografi, sejarah hidup, perjalanan ilmiah, hasil karya, sistematika penulisan “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari” dan pandangan ulama-ulama tentang beliau.
II. Pembahasan
A. Biografi
Nama lengkap Ibnn Hajar al ‘Asqalani adalah al Imam al ‘Allamah al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.
Beliau lahir di Mesir pada tanggal 12 Sya’ban 773 H, yang bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1372 M. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri. Beliau hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Pada usia 11 tahun, ia berangkat haji bersama pengasuhnya, yaitu sekitar tahun 784 H.
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1449 M di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amal shalih. Beliau dimakamkan di Qarafah ash-Shugra.
B. Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan ilmiah Ibnu Hajar sangatlah panjang. Walaupun beliau yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan perjalanan ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
Pertama, di dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
Kedua, di Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
Ketiga, di Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.
Keempat, di Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Guru-guru Ibnu Hajar al ‘Asqalani sangatlah banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. yaitu, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari), al-Makki ( 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al-Makki (717 H), Abul Hasan al-Haitsami (807 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), Sirajuddin al-Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H), Abul-Fadhl al-‘Iraqi (806 H), ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah, al-‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, al-Hummam al-Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, Ibnu Hajar belajar kepada al-Fairuz Abadi Rahimahullah, Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atussab’, beliau belajar kepada al-Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.
Murid-murid Ibnu Hajar datang dari berbagai penjuru, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Dianaranya, Imam ash-shakhawi (902 H), al-Biqa’i (885 H), Zakaria al-Anshari (926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (874 H), Ibnu Taghri Burdi (874 H), Ibnu Fahd al-Makki (871 H), al-Kamal bin Hamam (861 H), Abu al-Fadhal bin Syahnah (890 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.
C. Masa penyempurnaan Ulum al-Hadits
Periode ini dimulai dengan tokoh utama yang berpengaruh terhadap se;uruh karya setelahnya, yaitu Ibnu Hajar Al-Asqalani. Masa Ibnu Hajar dianggap sebagai masa penyempurnaan bidang Ulum al-Hadits, yaitu dengan dilakukannya pengumpulan seluruh cabang Ulum al-Hadits dan menyajikannya dengan sangat kritis dan komprehensip.
Karya-karya yang muncul sebelum karya Ibnu Hajar hampir sepakat dalam menentukan cabang kajian Ulum al-Hadits, yaitu 65 cabang atau lebih. Adapun Ibnu Hajar menawarkan kurang dari jumlah itu, yakni 57 cabang. Sistematika penyusunan sebelum karya Ibnu Hajar dianggap kurang rapi dan tidak ringkas, sedangkan Ibnu Hajar memberikan sistematika yang cukup baik dan menggunakan bahasan yang ringkas, lugas, dan padat.
Begitu pula dengan susunan istilah hadits, Ibnu Hajar menyusun berdasarkan kelompok tersendiri. Seperti mendahulukan istilah hadits yang berdasarkan kuantitas periwayat, kemudian menjelaskan dariaspek kualitas.
D. Hasil Karya Ibnu Hajar
Ibnu Hajar memulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Bahkan menurut Imam asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Jawhar wa Ad-Durar menyebutkan karya Ibnu Hajar mencapai lebih dari 270 kitab. As-Suyuthi dalam kitabnya Nazham Al-Uqyan menyebutkan karangannya berjumlah 198 kitab. Al-Baqa’ mengatakan karangannya berjumlah 142 dan Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyfu Azh-Zhunun mengatakan, bahwa karangannya berjumlah 100 kitab.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah, dalam bidang ‘Ulum Al-Qur’an, beliau menulis Asbab an-Nuzul, Al-Itqan fi jam’ Ahadits Fadha’I Al-Qur’an, Ma fi Waqa’a Al-Qur’an Min Ghayr Lughat an-Nazhar. Dalam bidang ‘Ulum Al-Hadits, beliau menulis Nukhbat al-Fikr, Nuzhat an-Nazhar an-Nukat. Dalam bidang Fiqih, beliau menulis Bulugh al-Maram. Dalam bidang Syarah Hadits, beliau menulis Fath al-Baari. Dalam bidang Rijal, beliau menulis Tahdzib at-Tahdzib Taqrib at-Tahdzib, Lisan al-Mizan, dan Al-Ishabah.
E. Metode dan Sistematika Pensyarahan Hadits
Fathul Baari mempunyai muqadimah yang bernama Hadyus Saari (Hadyus As-Sari bi Fathil Bari). Muqadimah ini amat tinggi nilainya. Seandainya ia ditulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. Sebab ia merupakan kunci untuk memahami Shahih Bukhari. Kitab ini selesai ditulis tahun 813 H.
Kemudian al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah. Pada mulanya, uraian dan pembahasan direncanakan ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun beliau khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya, yang mengakibatkan kitab itu selesai namun tidak sempurna. Karena itu beliau menulis kitab syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fathul Baari.
Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad (25 tahun). Dimulai tahun 817 H dan selesai tahun 842 H. Maka tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
“Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari” adalah salah satu kitab syarah hadits yang mempunyai metode berbeda, adapun “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari” disusun dengan metode maudhu’I yaitu berdasarkan tema, dimulai dengan kitab bada al-wahyi kemudian kitab iman dan seterusnya.
Dalam mensyarah hadits, Ibnu Hajar mensyarah secara lengkap dari para perawinya kemudian matannya. Beliau juga menjelaskan para rawi secara mendetail, kemudian mensyarah matannya kalimat demi kalimat dan di akhir pensyarahan beliau menambahkan pendapat ulama ataupun kesimpulan dari hadits tersebut.
Dalam kitab “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari”, Ibnu Hajar al Asqalani menjelaskan masalah bahasa dan i'rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan di kitab lainnya, juga menjelaskan dari segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Di samping itu, beliau mengumpulkan seluruh sanad hadits dan menelitinya, serta menerangkan tingkat keshahihan dan keda'ifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaanya mengenai kitab-kitab hadits.
F. Pujian Ulama terhadap Ibnu Hajar
Syaikh Al-Allamah Al-Faqih Syaukani berkata tentang Ibnu Hajar, “Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai ilmu hadits, diakui hafalannya, mengetahui yang dekat dan jauh, musuh dan teman, sehingga pantas diberikan gelar ‘Al-hafizh’. Murid-murid beliau berdatangan dari segala penjuru, karangan beliau pun telah tersebar di seluruh penjuru pada masa hidupnya”.
Hafizh Tajuddin bin Qarabili berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah, tidak ada seorang di Damaskus yang banyak menghafal Hadits setelah Ibnu Asakir kecuali Ibnu Hajar.” Pada kesempatan yang lain dia telah melebihkan beliau dari para ahli hadits yang lain, seperti Mazzi, Birzali dan Dzahabi, lalu ia berkata, “Dalam diri Ibnu Hajar terkumpul semua dari apa yang mereka miliki dalam memahami dan menghafal matan, sanad, dan melakukan istimbath hukum serta menyatukan dua dalil yang kontradiksi”.
Syaikh Al-Baqa’i berkata, “Ibnu Hajar adalah orang yang memiliki pemahaman dan hafalan yang luar biasa, sehingga memungkinkan untuk mencapai derajat kasyaf, yang dapat menyingkap sesuatu yang tersembunyi, ia juga memiliki kesabaran yang kokoh, semangat yang tinggi dan hati yang istiqamah”.
Najmuddin bin Fahd, seorang ahli hadits negeri Hijaz mengatakan, “Ibnu Hajar adalah muhaqqiq yang handal, pintar, fasih, berakhlak mulia dan teguh dalam melaksanakan perintah agama. Dalam syair dikatakan, Mustahil akan datang suatu masa seorang seperti Ibnu Hajar, sesungguhnya masa seperti itu sangatlah sulit”.
G. Yang mempengaruhi pemikiran Ibnu Hajar
Salah satu hal yang mempengaruhi pemikiran Ibnu Hajar adalah pemikiran seorang tokoh besar dalam sejarah Islam yang telah menghabiskan waktunya untuk membela Islam, mengajarkan ilmu, berjihad dan berijtihad yaitu Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah memiliki nama lengkap Taqiyuddin Abu al-’Abbas Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abdul Salam ibn Abdullâh ibn Abul Qasim Al-Khidr ibn Muhamad ibn Taimiyyah. Dilahirkan pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 661H/1263M di Haram, kini propinsi Sanliurfa di tenggara Turki, dekat dengan perbatasan Syria. Akibat serangan Mongol ke wilayah itu, Ibn Taimiyyah kecil harus mengungsi bersama keluarganya ke Damaskus saat berusia tujuh tahun.
Ibnu Hajar sangat mengkagumi Ibnu Taimiyyah, walaupun banyak ulama-ulama yang mengkritik Ibnu Taimiyyah dan bahkan mengkafirkan Ibnu Timiyyah. Ibnu Hajar dalam salah satu pernyataannya pernah memuji Ibn Taimiyyah, “Pengakuan akan keimaman (ketokohan) Taqiyuddin (ibn Taimiyyah) lebih terang dan pada matahari. Gelaran Syaikh al-Islam pada zamannya masih terus lestari hingga sekarang di atas lidah-lidah yang berbudi luhur dan akan lestari hingga hari esok sebagaimana hari kemarin. Tidaklah seorang pun mengingkarinya kecuali mereka yang tidak mengerti atau berpaling dan sikap adil...”
Banyak kontrofersi pada Ibnu Taimiyah yang kemudian terdapat pula pada diri Ibnu Hajar, yaitu antara lain Sering kita mendengar bahwa Ibnu Hajar itu anti tasawuf dan penentang sufi, padahal kalau diperhatikan dari sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan pengikut ajaran tasawuf suni (yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah), meskipun ia tidak mengistilahkan ajaran tasawuf denga istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai oleh Ibnu Hajar adalah istilah suluk akan tetapi substansinya adalah apa yang ada pada ajaran tasawuf.
Dan dalam beberapa kasus Ibnu taimiayah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermadzhab Syafii, atau bermadhab Hmabali dan kadang dia juga kadang mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya?irah seperti Imam Ghazali dan yang lainnya, tidak hanya itu Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Hajar, kadang dia mengaku bermadzhab Syafii atau bermadhab Hambali dan kadang dia juga mengaku beraqidah Asy’ariah, namun terkadang dia juga melakukan perlawanan terhadap Asy’ariah.
Bahkan karena kekaguman Ibnu Hajar terhadap Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hajar sering membela Ibnu Taimiyyah atas pertaubatan Ibnu Taimiyyah. Diantara pernyataan Ibnu Hajar adalah ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
H. Kritik terhadap Ibnu Hajar
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah hadits dipengaruhi oleh sikap subjektifnya sebagai ulama hadits. Selain itu Ibnu Hajar adalah penganut madzhab Syafi’i, maka pensyarahan Ibnu Hajar juga lebih menitik beratkan kepada Imam Syafi’i. oleh karena itu sudut signifikasi keilmuannya menjadi lemah atau kurang khususnya dalam bentuk ra’y yang tidak didukung oleh argumen yang kuat.
Ibnu Hajar melakukan penilaian terhadap puluhan ribu rawi, yang tentu perlu dipertanyakan tingkat akurasi penilaiannya terhadap keseluruhan rawi yang dinilainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan), Yogyakarta: YPI al-Rahmah, 2001.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari, Beirut: Darul Fikr, juz I, 1996
Al-Zarqani, Muhammad bin Abd Al-Baqi bin Yusuf, Syarah al-Zarqani ‘Ala Muwatta’ Al-Imam Malik, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1411 H, jilid II
Dede Rudliyana. MA, Muhammad, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari klasik sampai modern, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004
Rahman, Fazlur, Wacana Studi Hadits Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT. Al-ma’arif, cet I, 1974
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijal al-Hadits, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003
Zuhri, Muhammad, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2003.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar