I. Pedahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
Dalam mengkaji al-Qur’an sesungguhya dapat dilakukan melalui berbagai aspeknya, mulai dari aspek sejarah kodifikasinya, qira’ahnya, asbab al-nuzulnya sampai pada perkembangan penafsirannya. Munculnya berbagai corak penafsiran yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah mazhab-mazhab tafsir (Madzahib al-Tafsir). Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya.
Pada makalah ini, saya akan mengatagorikan studi Madzahib al-Tafsir dari berbagai peninjauan, yaitu ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiloginya. Kajian aspek ontologis menekankan tentang apa itu hakekat mazahib al-tafsir, sedangkan epistemologi, melihat asal-usul munculnya mazahib tafsir, metode dan objek kajiannya. Sementara itu, aspek aksiologisnya bicara tentang arti penting dan manfaat dari studi tentang madzahib al-tafsir.
II. Pembahasan
A. Madzahib al-Tafsir Tinjauan Ontologis
Secara etimologi, istilah madzahib al-tafsir merupakan susunan idhafah yang terdiri dari dua kata; Madzahib dan al-Tafsir. Kata madzahib merupakan bentuk jamak (plural) dari kata madzhab yang dapat berarti; aliran, pendapat, teori atau yang dalam bahasa Belanda disebut richtungen. Sedangkan secara terminologi, madzhab biasa didefinisikan sebagai hasil-hasil ijtihad atau pemikiran, penafsiran para ulama yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan kepada tokohnya, atau kecenderungannya atau masa periodesasinya.
Adapun kata tafsir secara bahasa merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassiri-tafsiran yang berarti pemahaman, penjelasan dan perincian . Tafsir bisa pula berarti al-ibanah (menjelaskan), al-kasyf (menyingkapkan), dan al-idh-har (menampakkan) makna atau pengertian yang tersembunyi.
Dari tinjauan makna secara bahasa tersebut, maka tafsir secara istilah dapat diartikan sebagai suatu hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir, yang dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam buku Madzahib Tafsir, karya Abdul Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis, ideologis, dan ilmiah.
Dalam hal ini, saya lebih mengikuti pandangan yang memetakan mazhab tafsir berdasarkan periodesasinya sekaligus sedikit banyak memadukan dengan pemetaan mazhab tafsir yang berdasarkan perkembangan pemikiran manusia, sehingga batasan waktu tersebut tidaklah terlalu rigid (kaku), dan ini merupakan konsekwensi logis dari upaya memadukan dua teori tersebut. Walaupun dalam pemetaan seperti ini memiliki kelemahan sekaligus kelebihannya.
B. Madzahib Tafsir Tinjauan Epistemologi
Kajian terhadap madzahib tafsir jika ditinjau secara epistemologi memiliki banyak faktor. Jika dirinci, maka mazhab-mazhab tafsir tersebut muncul disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (al-‘awamil al-dakhiliyyah) dan eksternal (al-‘awamil al-kharijiyyah).
1. Faktor Internal (al-‘awamil al-dakhiliyyah)
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di dalam internal teks itu sendiri. antara lain yaitu: Pertama, kondisi objektif teks al-Qur’an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. Sebagaimana terbaca dalam banyak litertur kitab Ulum al-Qur’an bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbagai versi bacaan, atau yang dikenal dengan sab’at ahruf. Para ulama memang berbeda-beda dalam memakna sab’atu ahruf. Diantara mereka ada yang mengartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh arti, tujuh bacaan, tujuh bentuk.
Kedua, kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Qur’an yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. Sebab di dalam al-Qur’an seringkali satu kata mempunyai banyak arti. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli, bahwa bahasa Arab itu sangat kaya maknanya, bahkan makna dari suatu kata kadang terus mengalami perkembangan.
Ketiga, adalah adanya ambiguitas makna dalam al-Qur’an, dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda) seperti kata al-Qur’u (dapat bermakna suci dapat pula haid). Demikian pula kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti lamasa dalam ayat: au la mastum al-nisa’” yang dapat berarti menyentuh, dapat pula berarti jimak (bersetubuh), dan lain sebagainya.
2. Faktor Eksternal (al-Awamil al-Kharijiyyah)
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar teks al-Qur’an, yaitu kondisi subjektif si mufassir sendiri, seperti kondisi sosio-kultural, politik, prejudice-prejudice yang melingkupi mufassirnya (reader). Selain itu, perspektif dan keahlian atau ilmu yang ditekuninya juga merupakan faktor yang cukup signifikan. Termasuk pula riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Menurut pemahaman saya, faktor eksternal yang paling siginifikan adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis. Sebab, munculnya suatu aliran pemikiran termasuk dalam penafsiran, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik (kekuasaan). Dan faktor eksternal lain yang mempengaruhi munculnya mazhab-mazhab tafsir adalah adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban dunia-dunia diluar Islam.
Sebagai kritikan terhadap Abdul Mustaqim di dalam bukunya yang berjudul Madzahib Tafsir, beliau belum mencantumkan batasan-batasan faktor eksternal, terutama dalam penafsiran bir-ra’y yang banyak menggunakan pemikiran dalam menginterpretasikan atau menafsirkan al-Qur’an.
C. Objek Kajian Madzahib al-Tafsir
Dalam perspektif filsafat ilmu, suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu, jika ia memiliki objek kajian tersendiri dan mempunyai epistemologi yang jelas, sehingga dapat diferifikasi dan difalsifikasi secara jelas. Adapun objek kajian madzahib tafsir dapat dipetakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
1. Objek Material
Objek material adalah bidang penyelidikan sebuah ilmu yang bersangkutan. Maka objek material dari kajian madzahib al-Tafsir adalah data-data sejarah yang berupa produk-produk tafsir-tafsir dan sejarah penulisnya yang sudah muncul sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang.
2. Objek Formal
Objek formal adalah sudut dari mana sebuah ilmu pengetahuan memandang objek material. Objek meterial yang satu dan sama bisa dipelajari oleh berbagai ilmu pengetahuan yang masing-masing memandang objek itu dari sudut yang berlainan. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa objek formal dari kajian madzahibut tafsir adalah sesuatu yang menjadi titik tekan dari kajian madzahibut tafsir, yakni kecenderungan, corak, aliran-aliran, pendekatan-pendekatan penafsiran yang muncul sejak al-Qur’an itu ditafsirkan dan dikonsumsi oleh para mufassir dan umat Islam secara umum.
D. Madzahib al-Tafsir Tinjauan Aksiologis
Kajian terhadap madzahib tafsir secara aksiologis tentu memiliki signifikansi yang sangat banyak, terutama bagi para mahasiswa, peminat studi al-Qur’an dan umat Islam secara umum. Mengkaji madzahibut tafsir adalah mengkaji sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir itu sediri, bagaimana seseorang memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Betapa pentingnya umat Islam untuk mengetahui sejarah, apalagi sejarah yang terkait dengan bagaimana generasi masa lalu hingga sekarang mengkaji dan memahami al-Qur’an. Dengan mengkajinya madzahibut tafsir kita akan banyak memperoleh informasi tentang berbegai ragam, corak dan kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Adapun signifkansi dari belajar madzahib al-tafsir antara lain:
1. Untuk membuka horison dan menumbukan sikap toleran terhadap berebgai corak penafsiran
2. Untuk mengembangkan dan menyadarkan adanya pluralitas penafsiran
3. Menghindarkan sikap Taqdis al-Afkar
E. Kategorisasi Madzahib Tafsir
1. Model Ignaz Goldziher
Dalam buku Madzahib at-Tafsir al-Islami, karya Ignaz Goldziher terdapat lima madzhab atau kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu:
a. At-Tafsir bil Ma’tsur
b. At-Tafsir fi Dhau’i al-Aqidah (tafsir dalam perspektif teologis)
c. At-Tafsir fi Dhau’I at-Tasawwuf al-Islami (tafsir dalam perspektif sufistik)
d. At-Tafsir fi Dhau’I Firaq ad-Diniyyah (penafsiran yang bersifat sektarian)
e. At-Tafsir fi Dhau’I at-Tamaddun al-Islami (tafsir modernis)
Menurut saya, pembagian model Ignaz ini bukanlah pembagian penafsiran yang berdasarkan kronologi waktunya, akan tetapi lebih merupakan suatu usaha untuk menguraikan beberapa kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an mulai awal sejarah penafsiran, hingga Muhammad Abduh. Sehingga ia tidak memberikan suatu periodesasi yang tegas dan jelas mengenai produk-produk tafsir yang berkembang dalam sejarah umat Islam.
2. Model J. J.G Jansen
Dalam disertasi doktornya, J. J. G Jansen melakukan kategorisasi yang lebih bersifat spesifik, karena hanya mengacu kepada tafsir-tafsir yang berkembang di kawasan Islam tertentu, yaitu Mesir. J. J. G Jansen membagi kategorisasi madzhab tafsir ilmiah yang berkembang di Mesir menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tafsir ilmi
b. Tafsir linguistik
c. Tafsir praktis
Menurut saya, pembagian seperti ini bukanlah pembagian penafsiran yang berdasarkan kronologi waktu, akan tetapi didasarkan pada kecenderungan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir di Mesir. Sehingga akan melupakan tafsir-tafsir lain yang tidak berkembang di Mesir.
3. Model Muhammad Husain adz-Dzahabi
Dalam buku at-Tafsir wal Mufassirun karya adz-Dzahabi, ia cenderung mengkategorisasikan tafsir berdasarkan kronologi waktunya. Menurutnya ada tiga periodesasi tafsir, yaitu:
a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
b. Tafsir pada masa Tabi’in
c. Tafsir pada masa Kodifikasi
4. Model Amina Wadud
Dalam membuat kategorisasi tafsir, Amina Wadud lebih melihat dari perspektif gerakan feminisme yang memfokuskan pada isu-isu gender. Menurutnya penafsiran al-Qur’an mengenai isu-isu gender dapat dikategorisasikan menjadi tiga corak, yaitu:
a. Tafsir tradisional
b. Tafsir reaktif
c. Tafsir holistik
III. Penutup
AL-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah swt kepda Nabi Muhammad saw, sebagai petunjuk umat manusia dari kegelapan dan menunjukkan kepada jalan yang lurus.
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
Lahirnya madzahibut tafsir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab tiap generasi ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan perilakunya. Apalagi para mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural dan situasi politik dimana ia tinggal. Di samping itu, perbedaan kecenderungan dan disiplin ilmu yang dimilki para mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil penafsiran, implikasinya memunculkan pluralitas penafsiran al-Qur’an, dimana pluralitas itu justru menunjukkan adanya kekayaan khazanah pemikiran umat Islam.
Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu AL-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1974
Baidan. Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Basuni Faudah. Mahmud. Tafsir-tafsir al-Qur’an (perkembangan dengan metodologi tafsir). Bandung: Pustaka. 1987
Goldziher. Ignaz. Madzab Tafsir (dari klasik hingga modern). Yoyakarta: Elsaq Press. 2006
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir (peta metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik hingga kontemporer), Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mohon latar blog diganti dengan putih dan tidak transparan dong. latar gelap membuat para pembaca kesulitan membaca, harus menyediakan ekstra konsentrasi untuk membaca blog ini :)
BalasHapusterimakasih untuk tulisannya