A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
"Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari pada apa yang anda lihat". Ilustrasi ini menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur'an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Salah satu kitab tafsir karya ulama terdahulu yang bercorak fiqhi adalah tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi. Selain itu juga ada kitab tafsir yang bercorak fiqhi, di antaranya adalah kitab “ahkam al-Qur’an” karya al-Jassas dan juga kitab tafsir yang bercorak fiqhi karya Ibnu ‘Arabi. Oleh karena itu, pada makalah ini saya akan mengkaji tentang perbedaan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” dengan kedua kitab tafsir itu yang sama bercorak fiqhi. Dan juga menjelaskan tentang biografi pengarang, latar belakang sejarah penulisan, corak, metode, bentuk dan karakteristiknya dari kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”.
B. Pembahasan
1. Biografi pengarang
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Ulama besar seorang faqih besar dan mufassir (ahli tafsir al-Qur'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, sebagai hamba Allah yang saleh dan warak. Beliau wafat tahun 671 H di kota Maniyya Ibn Hisab Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.
2. Latar Belakang penulisannya
Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang jiga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama mengenai masalah itu.
3. Bentuk penafsirannya
Dari berbagai bentuk penafsiran yang ada, al-Qurthubi dalam tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat hadits-hadits Rasul dan pendapat ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi ra’y adalah penafsiran yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh hadits-hadits dan pendapat ulama yang terdahulu.
4. Metode penafsirannya
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.
5. Corak penafsirannya
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;...”
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.
6. Karakteristiknya
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya).
7. Langkah-langkah penafsirannya
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayta lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.
8. Kelebihan dan kekurangan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler, namun memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam kitab tafsirnya".
Diantara kelebihanya.
a. Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut
b. Sarat dengan dalil-dalil 'aqli dan naqli
c. Tidak mengabaikan bahasa Arab, sya'ir Arab dan sastra Arab.
Diantara kekurangannya:
a. Banyak mencantumkan hadits-hadits dha'if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits)
b. Penulis menta'wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah SWT.
9. Sekilas tentang Kitab tafsir Fuqaha lainnya
Sebelum kita membahas perbedaan kitab tafsir karya al-Qurthubi ini, lebih baiknya kita sebutkan sedikit tentang kitab tafsir fuqaha lainnya. Yaitu tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
a. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash
Penulis kitab ini adalah Abu Baker Ahmad bin Ar-Razi,dikenal dengan nama Al-Jasshash, sebagai penisbatan kepada profesinya sebagai jashshash (tukang plester). Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Akam Al-Qur’an itu adalah karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi penganut madzhab Hanafi.
Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ ia mengemukakan satu atau beberapa ayat lalu mejelasakan maknanya secara ma’tsur, dengan perspektif fikih. Salanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar madzhab fikih tenteng hal berkenaan, oleh sebab itu, kitab ini di rasa oleh pembaca bukan lagi sebuah tafsir, tetapi kitab fikih.
Al-jasshash memiliki fanatisme yang kental terhadap madzhabnya, sehingga berefek pada penafsiran atau pentakwilan suatu ayat. Akibatnya, penafsiranya bias madzhab. Ia juga ekstrim dalam membantah pendapat yang berbeda dengannya.
b. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi
Penulis kitab ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ma’arrifi Al-Andalusi Al-Isyibili yang lebih dikenal dengan Ibnu ‘Arabi, salah satu ulama Andalusia yang luas ilmunya. Dia bermadzhab Maliki. Kitabnya yang bertajuk Ahkam Al Qur’an, merupakan rujukan bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.
Dialah Ibnul ‘Arabi, orang yang cukup adil dan moderat dalam tafsirnya. Cukup halus dalam membantah lawan-lawan pendapatnya. Tidak seperti yang dilakukan Oleh Al-Jasshash. Namun Ibnul ‘Arabi kurang peduli atas kesalahan ilmiah yang dilakukan oleh ulama Maliki.
Dalam menafsirkan ayat, Ibnul ‘Arabi mengemukakan pendapat berbagai ulama, tetapi yang masih memiliki kaitan dengan ayat-ayat hukum, kemudian memaparkan berbagai kemungkinan makna ayat bagi madzhab lain selain Maliki.
Ia memisahkan setiap poin-poin permasalahan dalam tafsir dengan topik-topik tertentu. Misalnya ia mengatakan: ”Maslah pertama., masalah kedua..,” dan seterusnya. Seperti disebutkan sebelumnya, ia cukup halus dalam menghadapi lawan-lawan polemiknya.
10. Perbedaan dengan Kitab tafsir lainnya
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara tafsir al-Qurthubi dengan tafsir fuqaha lainnya. Seperti tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
Dari penelitian saya, saya dapatkan perbedaan yang mencolok antara ketiga tafsir bercorak fiqhi di atas adalah kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” lebih istimewa dari kitab-kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi.
Selain itu, perbedaan yang mencolok antara tafsir“al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi, tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi adalah bahwa di dalam penafsirannya al-Qurthubi tidak ta'assub dengan mazhab Maliki. Namun sebaliknya, setelah penelitian dan kajian terhadap kitab tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi, penulis mendapati bahwa al-Jashash telah berpegang teguh dengan mazhab Hanafi dan Ibnu ‘Arabi telah berpegang teguh dengan mazhab Maliki secara jelas dan terang, ketika menyelesaikan sesuatu permasalahan hukum. Terdapat beberapa petunjuk yang menunjukkan beliau banyak terpengaruh dan berpegang dengan mazhabnya yang boleh didapati dalam kitab tafsirnya. Disamping itu juga, beliau akan tetap mempertahankan pendapat mazhabnya secara terang-terang atau secara sindiran sama ada dalam perkara ilmu, fiqh, dan sebagainya. Beliau juga akan memilih pendapat mazhabnya sekiranya terdapat perselisihan pendapat tentang sesuatu isu.
Namun begitu walaupun beliau berpegang kuat dengan mazhabnya, ia tidak sampai ke tahap yang melampau atau taksub yang terlalu tinggi. Kadang-kadang beliau juga menerima pendapat yang bertentangan dengan mazhabnya sekiranya pendapat itu lebih tepat dan sesuai diamalkan serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang kukuh dari nas al-Quran atau as-sunnnah.
C. Penutup
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir ra’y dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.
Dan perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi. Dan juga al-Qurthubi di dalam penafsirannya tidak ta'assub dengan mazhab Maliki.
Daftar Pustaka
Al-Qurthubi. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri. 1995
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz I. Kairo: Dar al-Kutub. 1961
Al-Jashshash. Ahkam al-Qur'an. ed. 'Abd al-Salam Syahin. al-'Ilmiyyat. II. cet. Ke-I. 1994
Al-Qatthan. Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Citra Antar Nusa. 1994
Baidan. Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Basuni Faudah. Mahmud. Tafsir-tafsir al-Qur’an (perkembangan dengan metodologi tafsir). Bandung: Pustaka. 1987
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar