I. Pendahuluan
Akhir abad XIX Masehi adalah dimulainya era kebangkitan Islam. Era kebangkitan Islam ini memiliki dua aspek penting, yaitu: Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti "kemodernan" serta "modernisme", "westernisasi" atau pembaratan, dan "sekularisme" menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi dari pada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
II. Pembahasan
A. Pengertian
Yang dimaksud dengan era kebangkitan Islam di sini adalah sejak abad XIV Hijriah atau akhir abad XIX Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin Al-Afghani (1254 H/1838 M -1314 H/1896 M) dan murid beliau Muhammad Abduh (1266 H/1845 M - 1323 H/1905 M), di Pakistan oleh Muhammad Iqbal (1878 – 1938), di India oleh Sayid Ahmad Khan (1817 – 1989), dan di Indonesia oleh H.O.S. Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya, K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya, K.H. Hasyim Asy’ari (1367 H) dengan Nahdatul Ulamanya di Jawa, dan Syeh Sulaiman ar-Rasuli dengan Pertinya (w. 1970) di Sumatra.
Salah seorang penganjur utama gerakan pembaruan dalam Islam, pencetus gagasan pan Islamisme dan Bapak dari Nasionalisme Islam modern adalah Jamaluddin Al-Afghani. Syekh Jamaluddin Al-Afghani (1254 H/1838 M -1314 H/1896 M) adalah orang perama yang menyebarkan paham modernisasi dan menyeru untuk menghidupkan kembali pemikiran keagamaan Islam yang rasional dan objektif. Pemikirannya diteruskan oleh murid beliau Syekh Muhammad Abduh (1266 H/1845 M - 1323 H/1905 M) yang menggerakkan perbaikan pendidikan agama dan masyarakat. Beliau inilah yang menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai landasan dasar gerakan modernisasi Islam dan sebagai alat untuk menghidupkan kembali pemikiran pendidikan Islam dan perbaikannya.
Syekh Muhammad Abduh telah memberi semangat kepada para mufassir sesudahnya yang mengikuti jejak beliau untuk meneruskan gerakan perjuangan pemikiran modern itu.
B. Latar Belakang munculnya era kebangkitan Islam
Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya pembaruan Islam atau era kebangkitan Islam, yaitu di antaranya:
1. Pemahaman kembali atas Islam (di antaranya dalam bidang Tafsir)
2. Sains dan teknologi (ilmu pengetahuan)
3. Kesejahteraan umat (keadaban)
C. Prinsip-prinsipnya
Ada beberapa prinsip-prinsip para mufassir era kebangkitan Islam yang membedakan dengan masa-masa sebelumnya:
1. Menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, akan tetapi menurut Muhammad Abduh dalam kitabnya “Fatiha al-Kitab”, kitab-kitab tafsir pada masa-masa sebelumnya dinilai sangat kaku sebab penafsirannya hanya mengarah pada perhatian yang lebih pada kata-kata saja atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi al-Qur’an. Di samping itu juga, kitab-kitab tafsir pada masa–masa sebelumnya tidak lebih hanya sekedar pemaparan berbagai pendapat para ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauhkan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.
Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang oleh Abduh disebut sebagai kitab yang baik dan bisa dipercaya seperti az-Zamakhsyari, ath-Thabari,al-Asfahani, dan al-Qurthubi. Namun kebanyakan kitab-kitab tafsir cenderung menjadi semacam latihan praktis di bidang kebahasaan, bukan tafsir yang sesungguhnya. Ini berarti, para mufassir belum maksimal dalam menjadikan al-Qur’an sebagai hidayah, sebab uraian penafsiran dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an relatif masih sangat “dangkal”.
Bagi Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’an sebagai sumber hidayah. Semangat Muhammad Abduh untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia inilah kemudian melahirkan sesuatu yang membedakan antara kalangan mufasir pada masanya dan mufassir masa sebelumnya.
2. Mengungkap “ruh” al-Qur’an
Salah satu adagium yang selalu menjadi jargon para mufassir era kebangkitan Islam adalah bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang shalihun li kulli zaman wa makan: kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia. Meski adagium ini juga diakui oleh para mufassir klasik, namun pembahasan para mufassir era kebangkitan Islam berbeda dengan para mufassir klasik.
Jika oleh para mufassir klasik adagium ini dimaknai sebagai “pemaksaaan” makna literal ke berbagai konteks situasi dan kondisi manusia, maka para mufassir era kebangkitan Islam mencoba melihat apa yang berada “di balik” teks ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karenanya, para mufassir era kebangkitan Islam tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal tersebut. Dengan demikian, yang ingin dicari para mufassir adalah “ruh” atau pesan moral al-Qur’an itu sendiri.
D. Sumber-sumber Tafsir pada era kebangkitan Islam
Para mufassir di zaman ini dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an juga bertitik tolak dari pembaruan Islam sehingga kebanyakan mereka selalu mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ajaran-ajarannya dengan keadaan sosial kemasyarakatan pada zaman ini, dengan menjelaskan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemodernan. Islam adalah agama yang universal, yang sesuai dengan seluruh bangsa pada semua masa dan di setiap tempat. Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, mereka menyandarkan penafsirannya pada riwayat dan pendapat mufassir terdahulu, lalu disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, dalam muqaddimah tafsir al-Manar mengatakan sebagai berikut: “…Kitab ini adalah satu-satunya tafsir yang mengumpulkan antara nas yang sahih dan akal sehat yang menjelaskan hukum syara’ dan ketentuan Allah pada ciptaan-Nya dan keadaan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia pada semua masa dan di seluruh tempat yang menjembatani antara petunjuknya dengan masalah yang dihadapi kaum muslimin pada masa kini.”
Jadi, sumber-sumber tafsir pada zaman ini adalah perpaduan antara riwayah dan dirayah.
E. Pola dan Pendekatan Penafsiran era kebangkitan Islam
Berangkat dari tujuan untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai hudan li an-nas, metode yang digunakan oleh para mufassir era kebangkitan Islam agak berbeda dengan apa yang digunakan oleh para mufassir klasik. Para mufassir klasik kebanyakan cenderung melakukan penafsirandengan memakai metode tahlili (analitis), sedang dalam era kebangkitan Islam penafsiran banyak dilakukan dengan menggunakan metode ijmaly (global), maudhu’i (tamatik), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan topik atau tema tersebut dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya. Di antara berbagai metode yang berkembang di masa ini, metode maudhi’i tampaknya yang paling banyak diminati oleh para mufassir.
Bentuk tafsir abad ini tidak jauh berbeda dari bentuk tafsir mutaakhirin, yaitu perpaduan antara riwayah (ma’tsur) dan dirayah (ra’yu).
Sistematika tafsirnya sebagian besar menggunakan sistematika tafsir yang telah disebutkan, yaitu menafsirkan al-Qur’an dari awal Surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas secara berurutan, kecuali yang mengikuti metode tematik.
Ruang lingkup penafsirannya lebih banyak diarahkan pada bidang adab (sastra, budaya) dan bidang sosial kemasyarakatan, terutama politik, dan perjuangan.
F. Metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir era kebangkitan Islam
Metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir ere kebangkitan Islam sangat beragam, diantaranya yaitu:
1. Fazlur Rahman, menggagas apa yang disebut sebagai metode tafsir kontekstual. Menurut Fazlur Rahman, ayat-ayat al-Qur’an tidak bisa dipahami secara literal (harfiah) begitu saja sebagaimana yang dipahami oleh paramufassir klasik. Baginya, memahami al-Qur’an dengan cara mengambil makna harfiahnya tidak saja akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang ingin diberikan al-Qur’an, namun lebih jauh lagi merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
2. Hasan Hanafi, mencoba menggambarkan apa yang oleh Muhammad Manshur disebut sebagai “metode penafsiran realis”. Disebut realis sebab yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah realitas itu sendiri, sehingga penafsiran yang dihasilkan pun (seharusnya) lebih bersifat temporal yang belum tentu sesuai untuk diterapkan fengan realita yang berlainan.
3. Nasr Hamid Abu Zaid, ia lebih mengedepankan pendekatan sastra dalam upaya memahami al-Qur’an. Ia mengusulkan tiga tingkatan (level) makna suatu pesan yang inheren dalam ayat-ayat al-Quran. Pertama, makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah yang tidak bisa diinterpretasikan secara metaforis. Kedua, makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah yang bisa diinterpretasikan secara metaforis. Ketiga, makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks sosio-kultural dimana teks itu muncul. Pada tingkatan terakhir inilah, signifikansi bisa diturunkan secara valid.
4. Dan yang lainnya.
G. Buku tafsir era kebangkitan Islam
Di antara tafsir yang telah lahir dalam bagian pertama dari abad keempat belas ini ialah:
1. Mahasin at-Ta’wil, karya Jamaluddin al-Qasimy (1322 H).
2. Al-Manar (tafsir Muhammad Abduh), karya Muhammad Rasyid Ridha.
3. Al-Jawahir, karya Thanthawy Jauhary.
4. Al-Futuhat ar-Rabbaniyah, karya Muhammad Abd al-Aziz al-Hakim.
Sesudah itu lahirlah pula kitab tafsir-tafsir, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi
2. Tafsir al-Wadhih, karya Mahmud Hijazy
3. Tafsir al-Hadits, karya Ahmad Izzah Darwazah
4. Al-Qur’an al-Majid, karya Ahmad Izzah Darwazah
5. Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, karya Sayyid Qutub
Di Indonesia lahir pula beberapa kitab tafsir, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Abd al-Halim Hasan dan Zain al-Arifin Abbas
2. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Yunus dan Kasim Bakry
3. Tafsir al-Furqan, karya Ahmad Hasan
4. Tafsir al-Qur’an, karya H. Zainuddin Hamidy dan Fakhruddin
H. Contoh penafsiran era kebangkitan Islam
Pada masa ini, metode yang banyak digunakan para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode ijmali (global). Namun pada ayat tertentu yang dianggap penting, di antara mereka ada yang memberikan penafsiran yang agak rinci, seperti tampak dalam tafsir Prof. Mahmud Yunus ketika beliau menafsirkan surat An-Nur ayat 31 sebagai berikut:
…وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“…Perempuan itu tidak boleh membukakan perhiasannya atau badannya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya selain dari pada yang terbuka untuk bekerja (berusaha). Dalam madzhab Hnafi yang boleh di bukakan perempuan ialah mukanya dan dua telapak tangannya hingga pergelangannya serta kedua telapak kakinya sampai mata kaki. Kata setengah lagi, boleh sampai seperdua lengan tangan dan seperdua betis kaki karena biasa terbuka waktu bekerja. Menurut tafsir Ibnu Abbas bahwa anggota yang biasa terbuka itu ialah muka dan dua telapak tangan. Dalam hadits Nabi Muhammad saw yang artinya: “Apabila perempuan telah baligh (telah membawa kotor adat bulanan) maka tidak patut dilihat tubuhnya selain dari ini dan ini, sambil diisyaratkannya muka dan dua telapak tangannya.”
Tampak dengan jelas dalam tafsir Mahmud Yunus itu suatu uraian yang relatif rinci dan memadai.
Contoh Abduh ketika menjelaskan surat Al-Baqarah ayat 243:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Artinya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur", Sayyid Rasyid Ridha menulis:
"Tuhan ingin menjelaskan sunnahnya berkenaan dengan bangsa-bangsa yang dilanda sifat pengecut sehingga tidak bisa melawan musuh yang menyerang mereka. Makna kehidupan umat dan kematiannya cukup dipahami oleh kebanyakan orang. Kematian kaum tersebut terjadi karena musuh mengalahkan mereka dan meng-hilangkan kekuatan mereka, menghilang-kan kebebasan mereka sebagai bangsa. Jadilah mereka bangsa yang tidak diperhitungkan karena kesatuannya sudah bercerai-berai. Anggota-anggota bangsa itu sudah tunduk kepada penjajah mereka sehingga mereka tidak lagi memiliki wujud, karena wujud mereka tunduk pada wujud orang lain. Arti kehidupan bangsa adalah kembalinya lagi kebebasan kepada bangsa itu. Salah satu dari kasih sayang Allah swt kepada manusia adalah menurunkan musibah kepada mereka sebagai pelajaran dan pensucian dari akhlak yang tercela. Allah menimbulkan kesadaran kepada kaum itu akibat sifat pengecut mereka dan kepahitan perpecahan di antara mereka. Setelah timbul kesadaran mereka meng-himpun kekuatan mereka, memperkokoh ikatan di antara mereka sehingga mereka memperoleh kembali kekuatan dan kesatuan mereka yang perkasa. Dengan begitu mereka berhasil keluar dari kehinaan penghambaan kepada kemuliaan kemer-dekaan. Inilah makna kehidupan dan kematian bangsa. Satu bangsa mati ketika mereka menerima kezaliman sehingga keadaan mereka seperti bangkai. Tidak keluar dari mereka karya-karya dinamis...
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd. Nash Hamid. Naqd al-Khitab al-Dini. Cairo: Shina li al-Nasr. 1994
Ash-Shiddieqy. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu AL-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1974
Baidan. Nashruddin. Perkembangan Tafsir AL-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2003
Basuni Faudah. Mahmud. Tafsir-tafsir al-Qur’an (perkembangan dengan metodologi tafsir). Bandung: Pustaka. 1987
Goldziher. Ignaz. Madzab Tafsir (dari klasik hingga modern). Yoyakarta: Elsaq Press. 2006
Mustaqim. Abdul. Madzahibut Tafsir (peta metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik hingga kontemporer). Yogyakarta: Nun Pustaka. 2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar